“Lily! Cepat bangun! Hari sudah siang!” samar-samar aku mendengar suara
seorang cowok berusaha membangunkanku. Namun, udara pagi ini begitu dingin.
Membuatku mengabaikan perintahnya, malahan aku menarik selimutku yang berwarna
biru hingga menutupi mulutku. Cowok itu terdengar kesal.
Tunggu sebentar, seorang…cowok?!
“Argh!” jeritku sambil melempar selimutku ke muka cowok itu. Dia sempat
mengumpat. Dengan kesal, dia menyingkirkan selimutku dari mukanya. Ternyata,
cowok itu adalah Ryan.
“Hentikan melempari selimutmu yang bau ke mukaku! Menjijikkan tahu!” kata
Ryan dengan setengah berteriak.
“Siapa suruh masuk ke kamarku! Kamar seorang cewek adalah ruangan pribadi!
Jangan karena ini rumahmu, kau seenaknya saja masuk ke kamarku. Selimutku juga
tidak bau! Lagipula, kenapa sih kau selalu masuk ke kamarku akhir akhir ini?”
jawabku dengan setengah berteriak juga.
“Kalau begitu tanyakan saja pada ibu ku! Sebelum Ayah dan Ibu pergi ke
luar negeri untuk beberapa minggu, ibu
menyuruhku untuk membangunkanmu setiap pagi! Dasar!”
“Aku sudah bisa bangun sendiri!” jawabku dengan berteriak lebih keras.
“Kau pikir semua percaya kau bisa bangun sendiri setelah telat delapan
kali bulan kemarin? Hanya orang bodoh saja yang percaya! Jadi cepat bangun
pemalas!” balas Ryan dengan senyum andalannya. Bagi orang lain, senyum itu
sangat manis. Yah, memang manis. Tapi, bagiku itu adalah senyum penghinaan.
Karena dia selalu tersenyum seperti itu jika sedang menghinaku.
Ryan adalah saudara tiriku. Tapi, dia sendiri tidak ingin dianggap
saudara. Dia ingin aku hanya menganggap dia sebagai teman saja. Kata ibu Ryan,
saat Ryan masih berumur dua bulan. Ayah Ryan menemukanku di tempat sampah.
Beliau menemukanku saat sepulang kerja. Kala itu sedang hujan, dan dia merasa
iba melihatku menangis kedinginan. Jadi, Ayah dan Ibu Ryan memutuskan untuk
mengasuhku.
Keluarga Ryan memang kaya raya. Maklum, Ayah Ryan memiliki perusahaan yang
dia bangun sendiri. Kini perusahaan itu sangat diperhitungkan. Ibu Ryan adalah
seorang penyanyi Jazz terkenal. Mereka berdua amat serasi. Ditambah lagi,
kecerdasan Ryan berada di atas rata rata. Benar benar keluarga yang sempurna.
Terkadang, aku merasa diriku berbeda dengan mereka.
Oke, aku belum menceritakan namaku. Namaku adalah Lily. Lily Therane, nama
itu adalah pemberian dari Ibu Ryan. Sebenarnya, Ibu Ryan juga ingin menambahkan
nama keluarga mereka. Tapi, saat aku kelas empat aku memutuskan untuk menghapus
nama keluarga itu. Karena, aku merasa bukan bagian inti dari keluarga mereka.
Aku adalah seorang murid SMP kelas 2. Aku satu sekolah dan satu kelas
dengan Ryan. Sekolah yang kami ambil bukan sekolah favorit atau sekolah
kumpulan anak anak kaya. Kami hanya mengambil sekolah yang biasa saja. Ayah
Ryan juga tidak setuju bila kami masuk sekolah anak anak yang kaya. Baginya,
mereka tidak berpengaruh baik bagi kami. Walaupun keluarga Ryan sangat kaya
raya. Aku rasa, mereka tidak sadar kalau mereka sangat kaya raya.
Aku adalah anak yang suka berimajinasi. Aku sangat menyukai dunia Anime,
Game Online dan Dongeng. Bagiku, dunia itu sangat menarik untuk didalami.
Terkadang, aku bisa menghabiskan lebih dari satu jam hanya untuk membayangkan
bagaimana bila aku nanti masuk ke dunia sana. Terkadang, aku berpikir menjadi
seorang ksatria pedang wanita dan berpetualang di dunia dunia aneh. Melawan
Troll, Minotaur dan makhluk dongeng lainnya
“Melamunkan apa sih? Pagi pagi sudah melamun!” teriak Ryan tepat didekat
telingaku. Sial, telingaku langsung berdengung keras. Aku sudah hendak
menendang perutnya. Tapi, dia sudah keluar dari kamarku dan kabur dengan
tertawa keras.
Aku melirik jam dinding yang menempel di atas pintu kamarku. Masih jam
lima. Seketika, rasa ngantuk kembali mendatangiku. Aku membenamkan kepalaku di
selimut. Oke, kuakui selimut mulai mengeluarkan bau apek. Aku rasa aku harus
mencucinya.
Seusai mandi, aku mengganti baju tidurku dengan seragam. Seragamku bewarna
biru tua dan berlengan panjang. Ditambah dengan pita merah sebagai dasi dan rok
selutut warna merah juga. Juga mengenakan kaos kaki putih yang membuatku
terkadang berpikir kalau yang mendesain seragam ini sangat menyukai anime.
Sambil menahan rasa ngantuk, aku berjalan ke arah kelas. Aku memutuskan
untuk tidur saja di jam pelajaran geografi. Karena guru geografi kami tidak pernah sadar kalau
murid muridnya tertidur atau makan di kelas.
“Hey, kalau jalan yang cepat dong!” tiba-tiba saja, Ryan mendorongku
hingga menabrak pintu kelas. Spontan, baik yang berada di dalam kelas dan di
luar kelas tertawa melihat kondisiku saat ini. Wajahku langsung merah padam.
“Ryan! Aku akan menghajarmu di rum…” aku tak bisa menyelesaikan kalimatku
karena mulutku dibekap oleh Ryan. Aku hampir lupa kalau kami merahasiakan
keberadaan tempat tinggal kami. Semua anak sampai saat ini mengira kalau kami
bertetangga. Kami tidak ingin teman teman kami salah sangka kalau mengetahui
kami tinggal serumah. Bisa bisa, mereka berpikir hal yang tidak tidak.
Perlahan, Ryan melepas bekapan tangannya dari mulutku. Aku menghela nafas.
Maklum, tangannya juga menutup sebagian hidung. Hingga menyulitkanku untuk
bernafas. Ryan berbalik dan masuk ke dalam. Setelah berhasil mengatur nafas,
aku juga mengikutinya masuk ke dalam kelas.
Begitu aku masuk kelas, aku langsung disambut oleh dua senyum yang
berbeda. Dua senyum yang berbeda orang dan berbeda maksud. Dua senyum itu
berasal dari Zahra dan Fani. Mereka adalah sahabat karibku sejak SMP. Zahra,
mengeluarkan senyum jahil nya yang bertujuan untuk menggodaku karena aku dekat
dengan Ryan. Sedangkan Fani, mengeluarkan senyum tulus yang seakan mengatakan
“Selamat pagi, kamu nampaknya sehat sehat saja hari ini Lily”. Nah, berbeda
jauh bukan?
Aku segera menaruh tas di bangku. Zahra dan Fani mengikutiku. Tampaknya
mereka ingin membicarakan sesuatu. Oke, sebelumnya aku jelaskan dulu kedua
sahabat karibku sejak SD ini.
Zahra, memiliki rambut hitam sebahu. Dia memang pas dengan rambutnya itu.
Apalagi, wajahnya yang tirus membuat dia terlihat makin keren. Kulitnya yang
kecoklatan membuat banyak turis mancanegara berusaha mendekatinya. Tapi,
Zahra lebih senang berteman daripada
berpacaran. Apalagi, dia jenis anak yang jahil dan blak blakan.
Sedangkan Fani merupakan salah satu sosok yang sering menjadi acuan cantik
orang kebanyakan. Kulit putih, rambut panjang, tinggi serta hidung mancung.
Apalagi dia memiliki sifat yang bijaksana dan pendiam. Sangat bertolak belakang
dengan sifat Zahra. Terkadang, aku bingung kenapa mereka bisa berteman sejak
lama.
Sedangkan aku? Ok, sekarang aku memiliki rambut yang cukup panjang.
Mungkin sekitar sebahu lebih. Aku selalu mengikat rambutku ke belakang dan
meninggalkan sedikit rambut di pelipis.. Seandainya sekolah ini boleh
mengenakan celana, aku jauh lebih memilih celana panjang. Terkadang aku risih
bila memakai rok.
“Tuh kan, melamun lagi! Kenapa sih kau tak bisa menghentikan kebiasaan
jelekmu itu!” hardik Zahra yang membuatku terperanjat kaget. Aku menoleh ke
arah Zahra dan Fani. Zahra menatapku dengan galak, sedangkan Fani masih
tersenyum tulus.
“Itu kan terserah aku!” jawabku dengan cuek.
“Aku kan peduli padamu! Coba kalau Ryan yang memarahimu pasti kau langsung
menurut. Karena, Ryan kan pacarmu…” jawab Zahra dengan senyum mengejek. Fani
dan beberapa anak lain yang mendengarnya, mulai tertawa.
“Dia itu bukan pacarku, teman saja tidak!”
“Oh ya? Semua sudah tahu kalau kau dan dia berpacaran. Iya kan?” Zahra
mengangkat sebelah alisnya, membuat wajahnya makin menyebalkan.
“Sudah, sudah! Nanti Lily tidak mau ikut ke café lho…” kata Fani pada
akhirnya. Dia berusaha menenangkan kami berdua. Yah, cukup ampuh lho.
“Café? Café apa?”
“Kita akan pergi ke café baru yang terletak dua blok dari sekolah.
Kabarnya, café itu memiliki interior yang bagus dan juga, suasananya juga cukup
romantis lho. Jadi, kami sekelas memutuskan untuk pergi ke sana. Oh iya, disana
juga terdapat karaoke serta live music” jelas Fani. Aku hanya mengangguk angguk
saja tanda mengerti.
“Nah, masalahnya ada satu. Aku yakin kau pasti ikut. Tapi, Ryan tidak mau
ikut. Karena itu bolehkah kami minta tolong?” lanjut Zahra dengan senyum imut
yang dibuat buat.
“Yah, tergantung apa yang kamu minta. Kalau susah aku tidak mau. Jadi, apa
yang kalian inginkan?” jawabku sambil menatap mereka berdua. Zahra tersenyum
makin lebar.
“Kami ingin kau memaksa Ryan untuk ikut” jawab Zahra. Bel tanda masuk
berbunyi. Zahra dan Lily segera kembali ke tempat duduk mereka. Meninggalkan
aku yang sedang terkejut.
Aku, harus memaksa Ryan ikut?!
Aku melirik Ryan sebentar. Kebetulan kami sebangku. Namun, bila sedang
dalam pelajaran, Ryan berbeda sekali saat di rumah atau di saat jam istirahat.
Dia menjadi murid yang pendiam dan sangat memperhatikan apa yang diajarkan para
guru. Apalagi, seperti saat ini pelajaran Fisika sedang berlangsung. Jangan
harap dia mau menoleh sebentar saja ke kanan atau ke kiri.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Aku memukul dengan halus
lengannya. Tapi, dia tidak bergeming. Matanya tetap lurus kedepan. Sial! Dia
tidak menganggapku sedikit pun. Berkali kali aku memukul lengannya. Awalnya
pelan, kemudia makin keras dan keras. Pada akhirnya dia menyerah.
“Ada apa sih? Sudah kubilang berkali kali, aku tidak suka diganggu saat
pelajaran!” kata Ryan dengan dahi mengerut. Dia terlihat 5 tahun lebih tua bila
seperti itu. Aku hampir saja tertawa.
“Apa benar kau tidak ikut ke café bersama teman teman?” Dia hanya
menggeleng. “Yah, kenapa kau tidak ikut? Semua anak ikut, kenapa kau tidak
ikut?” lanjutku kemudian. Dia menatap dalam mataku.
“Itu terserah aku. Sebaiknya,kau tidak usah ikut ikut!” jawab Ryan dengan
setengah membentak. Membuatku manjadi emosi.
“Memangnya kau perlu membentak?! Aku menanyaimu dengan baik baik, tahu! Ya
sudah, kalau tidak ikut terserah kamu!” Setelah itu, kami terdiam sampai
sekolah berakhir.
Dia memang tidak datang ke café bersama kami. Wajah beberapa teman
temanku, termasuk Zahra terlihat kecewa. Nampaknya, Zahra yang terlihat makin
kecewa. Mungkinkah dia menyukai Ryan? Ah, itu bukan urusanku. Entah kenapa aku
menjadi merasa bersalah pada mereka semua. Aku juga merasa bersalah pada Ryan.
Apakah aku terlalu keras padanya? Tapi, dia duluan yang membentak. Memikirkan
ini membuatku pusing.
Aku membanting tasku di sudut kamar. Masih pukul delapan malam. Anehnya,
Ryan tidak ada di rumah. Mungkin dia bermain game di kamarnya. Aku sempat melirik
komputer yang berada disebelah kasurku. Entah kenapa, keinginan untuk bermain
game menghilang. Aku merasa ngantuk.
Tanpa mengganti pakaianku, aku berbaring di kasurku. Menjijikan memang
berbaring di kasur tanpa mandi dan mengganti baju. Tapi, aku benar benar
mengantuk. Aku memejamkan mataku dan aku masuk ke alam mimpi yang indah dan
menyenangkan.
Mungkin, ini malam terakhir aku bisa bermimpi indah dan aku menyesal tidak
memaafkan Ryan.
*****
“Apakah persiapannya sudah siap?” tanya lelaki itu sambil menatap kota
jauh.Dia sudah tak sabar menanti semua perubahan yang akan terjadi pada dunia.
“Siap, semua warga bumi sudah kami tidurkan dengan sihir kita. Tinggal
menunggu perintah selanjutnya dari Anda,” jawab seorang lelaki berkerudung
lainnya. Lelaki yang sedang menatap pemandangan kota itu tersenyum.
“Jalankan!” perintah lelaki itu. Dengan segera, anak buahnya membentuk
lingkaran yang besar. Lelaki itu ditengah tengahnya, membawa kalung berwarna
hijau tosca.
Kalung itu bersinar terang, makin terang dan menyelimuti seluruh bumi.
“Aku telah melakukannya, Lily,” kata lelaki itu sambil tersenyum senang.
*****
Aku terbangun. Entah aku terbangun dan masuk ke dunia lain atau apa.
Mungkin saja aku sedang bermimpi.
Karena, aku terbangun bukan di kamarku sendiri. Huh?!
Aku memandang sekeliling. Kamarku yang didominasi warna biru kini telah
menghilang. Poster poster manga dan anime yang menempel di dindingku menghilang
dan diganti dengan dinding polos warna coklat. Selimutku yang juga berwarna
biru kini berubah menjadi selimut berbulu domba warna coklat. Komputer dan
handphoneku menghilang. Apa yang terjadi sekarang ini?!
Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari tempat tidur. Seragamku berubah
menjadi gaun tanpa lengan selutut warna coklat. Aku juga memakai kalung hijau
tosca. Lantainya terbuat dari tanah, dinding terbuat dari batu dan kasurnya
terbuat dari bulu bulu angsa.
Kemudian, aku berlari ke arah jendela. Lalu melihat sekeliling rumahku.
Semuanya berubah. Rumah rumah yang dibangun secara modern kini berubah seperti
rumah ala pedesaan. Beberapa orang yang tampak kebingungan juga memakai baju
baju seperti itu. Ada yang hanya memakai kain dan celana katun, ada juga yanh
memakai gaun yang sangat indah.
Entah kenapa, hatiku serasa senang. Apakah ini yang namanya dunia dongeng?
Dibelakang pemukiman rumah, terdapat bukit hijau. Yang bila kuingat dengan
benar, dulu itu adalah bangunan sekolahku. Matahari begitu cerah, burung
berkicauan. Kalau ini mimpi, aku akan menyumpahi dengan segala sumpah serapah
yang aku ketahui kepada orang yang membangunkanku.
“Lily! Kau sudah bangun? Syukurlah!” tiba tiba saja Ryan sudah berada di
belakangku. Aku segera membalikkan badanku. Begitu aku melihatnya, aku terkejut
setengah mati.
Aku lupa, kalau dia juga berubah. Kini, dia hanya memakai kaos katun putih
kecoklatan, celana hitam dan sepatu bot cokelat tua. Dia juga membawa dua
gulungan kertas. Wajahnya terlihat panik.
“Apakah aku sedang bermimpi?” kataku pada akhirnya. Ryan menggeleng lemah
dan berkata, “Tidak, bagaimana mungkin aku juga bermimpi yang sama?” Aku
mengalihkan pandanganku lagi ke jendela.
“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kita terbangun dan berada di sebuah
dunia yang aneh,” Aku menatap ke pemandangan yang terpampang di mataku. Dunia
ini, dunia yang kulihat ini benar benar indah. Hanya saja, dunia ini seakan
menyimpan misteri yang mengerikan di balik keindahannya.
7 hari kemudian…
Tujuh hari sudah berlalu, tapi dunia masih dilanda kebingungan. Beberapa
mulai berusaha menerka nerka. Ada yang mengatakan kalau ini adalah teknologi
terbaru dari pemerintah dimana apa yang kita lihat, dengar dan rasakan bisa
dimanupulasi. Ada juga yang mengatakan kalau ini adalah serangan dari alien.
Aku sendiri, sejujurnya begitu menyukai lingkungan yang sekarang. Tak ada
polusi, jalan jalan terbuat dari batu batu. Tumbuhan berada dimana mana.
Rasanya… seperti berada di dunia dongeng. Anak anak sendiri, aku yakin juga
sama sepertiku. Menikmati dunia yang sedang terjadi sekarang.
Tapi, aku juga sangat merindukan Fani dan Zahra. Tempat tinggalku dan
tempat tinggal mereka berdua memang terpaut cukup jauh. Ketika aku mencoba
untuk keluar dari daerah tempat tinggalku. Banyak orang melarangku. Karena,
mereka tak tahu apa yang berada di luar sana. Benar, daerah tempat tinggal kami
dibatasi oleh dinding setinggi dua meter.
Pada akhirnya, selama tujuh hari aku hanya berjalan jalan di sekitar rumah
dan membeli makanan secukupnya. Oh ya, beberapa makanan pun juga ikut berubah.
Menjelang sore, aku memandang matahari terbenam dari jendela kamarku.
Ryan selama tujuh hari ini selalu ikut berkumpul dengan warga lainnya. Dia
juga ikut menerka nerka apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Ryan juga tidak
mempedulikan diriku. Mungkin itu akibat pertengkaran waktu itu di sekolah.
Ketujuh kalinya, aku memandang matahari terbenam.
Inilah permulaan dari penderitaan kami.
Aku menutup jendela kamarku dan turun untuk makan malam. Ah, tiba tiba aku
teringat sesuatu. Di pojok kamar, terdapat sebilah pedang. Memandang pedang itu
membuat perasaanku tidak enak. Buru buru aku mengalihkan pandanganku.
Di ruang makan, aku mendapati kalau Ryan belum ada disana. Makanan hari
ini hanyalah ikan bakar yang kubeli di toko tadi siang. Namun, setelah aku baru
memakan lima suapan. Seseorang menjerit.
Cepat-cepat, kuletakkan ikan bakar itu ke piringnya lagi. Aku hendak
berlari ke arah pintu depan rumah. Tapi, aku menghentikan langkahku melihat
pintu kamarku.
Aku harus membawa pedang itu! Kataku dalam hati.
Dengan tergesa-gesa, aku mengambil pedang itu dan segera berlari keluar
rumah. Aku tidak tahu apa fungsi pedang itu nanti, tapi aku merasa aku harus
membawanya.
Aku membuka pintu rumahku dan terkejut melihat lingkungan sekitarku. Ini,
mengerikan sekali. Semua orang berlari ke arah barat seakan menghindari sesuatu
dari arah timur (kebetulan rumahku menghadap ke arah utara).
Aku menoleh ke arah timur dan melihat sebuah api besar melalap puluhan
rumah. Huh? Hanya karena kebakaran saja? Menggelikan sekali. Bukankah mereka
bisa memadamkan api itu, di dekat sini terdapat sungai yang cukup deras. Kenapa
mereka tidak memadamkan apinya saja?
“Lily! Cepat lari!” tiba- tiba saja, Ryan menarik tanganku.
“Hey! Apa yang terjadi? Kenapa semua orang kabur hanya karena kebakaran
saja?” tanyaku sambil mengikuti Ryan yang sedang berlari.
“Kita diserang sebuah raksasa dengan tanduk di kepalanya dan api berkobar
kobar di mulutnya,” jawab Ryan tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku menoleh ke
belakang, disana memang ada bayang bayang sebuah raksasa yang sangat tinggi dan
memiliki tanduk. Tinggi monster itu mungkin sekitar lima belas meter.
Masih banyak orang yang berada di belakangku. Beberapa diantaranya adalah
anak anak. Mereka bisa saja mati terinjak, atau terbakar oleh api dari mulut
monster itu. Memikirkan hal itu membuatku sesak.
“Ryan, tunggu sebentar!” Kulepaskan genggaman tangannya. Dia membalikkan
badan dan menatapku dengan marah.
“Lily! Kita sedang dilanda bahaya besar! Kita harus lari dan mencari
tempat perlindungan,” jerit Ryan.
“Tidak, Ryan! Disana, banyak anak anak dan kakek nenek yang perlu kita
selamatkan! Kita harus menolong mereka,” jawabku dengan suara yang berusaha aku
tenangkan.
“Aku ini kakakmu! Aku harus menjagamu tetap selamat sampai akhir hayatku.
Itu adalah sumpahku pada ayah dan ibu,” Ryan menangkup pipiku. Matanya berair.
Astaga, Ryan menangis.
“Ryan… apa kau lupa betapa aku senang mempunyai kakak sepertimu, walau aku
hanyalah saudara angkatmu? Aku juga tidak ingin berdekatan dengan monster itu.
Tapi, kita tidak bisa hanyalah berlari. Kita harus menghentikan monster itu dan
kita bisa tinggal dengan tenang,” aku lepaskan tangan Ryan dari pipiku
perlahan.
“Kau benar. Pergilah adikku,” Ryan memelukku sebentar. Dia tersenyum
pasrah. Aku melepas pelukannya dan berbalik ke arah mosnter itu. Kukeluarkan
pedangku. Aku memang tak bisa berkelahi, tapi entah perasaan dari mana aku
yakin aku bisa mengalahkannya.
Pedang itu berwarna transparan, berbentuk limas segitiga sama kaki. Pedang
itu benar benar indah disertai permata biru muda di gagangnya. Benar benar
serasi dengan bilah pedang itu.
Aku menoleh ke belakang sebentar dan Ryan sudah menghilang. Entah kenapa,
melihat Ryan tidak berada di sisiku membuat hatiku terasa tertusuk ribuan
jarum.
Aku berlari disela sela rumah agar tidak terlihat oleh monster itu.
Monster itu sibuk membakar jalanan dan tampaknya kebingungan akan banyaknya
jeritan yang terdengar.
Dengan lincah, aku menaiki tangga yang mengarah ke salah satu atap rumah.
Kemudian, aku berlari ke tepi atap dan kini, aku hanya berjarak sekitar dua
meter dari muka monster itu.
Oke, pertama aku tidak bisa berpedang. Aku memang pernah mengikuti kendo
saat SD, karena waktu itu banyak teman temanku yang mengikutinya. Tapi, aku
salah satu yang paling tidak mahir disana. Kedua, aku tidak pernah berkelahi.
Karena aku seorang cewek dan tentu saja seorang cewek jarang berkelahi.
Jadi, hal yang kulakukan sekarang ini benar benar nekat dan… sedikit
bodoh. Tidak, sangat bodoh sekali.
Aku menarik nafasku dalam dalam, dan berteriak, “Hoy! Monster jelek! Lihat
kesini!” Beberapa orang memandangku dengan terkejut. Monster itu menoleh kepadaku,
wajahnya jauh lebih menyeramkan daripada yang aku bayangkan. Tapi, ini tidak
akan menghentikanku untuk menghancurkannya.
“Lawan aku bodoh!” jeritku sekerasnya.
Tanpa berkata apa apa, monster itu mengepalkan tangannya dan
mengarahkannya langsung ke arah mukaku.
Lanjutan : http://alexvesal1.blogspot.com/2013/04/epilog-bertarung-tanpa-tujuan-update-ii.html
Lanjutan : http://alexvesal1.blogspot.com/2013/04/epilog-bertarung-tanpa-tujuan-update-ii.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau membacanya, walaupun capek :D
Pembaca yang baik ada baiknya memberi penulis yang bodoh ini kritik dan saran :)
Mohon kritik dan sarannya