2013/03/03

Epilog : Bertarung Tanpa Tujuan


“Lily! Cepat bangun! Hari sudah siang!” samar-samar aku mendengar suara seorang cowok berusaha membangunkanku. Namun, udara pagi ini begitu dingin. Membuatku mengabaikan perintahnya, malahan aku menarik selimutku yang berwarna biru hingga menutupi mulutku. Cowok itu terdengar kesal.
Tunggu sebentar, seorang…cowok?!
“Argh!” jeritku sambil melempar selimutku ke muka cowok itu. Dia sempat mengumpat. Dengan kesal, dia menyingkirkan selimutku dari mukanya. Ternyata, cowok itu adalah Ryan.
“Hentikan melempari selimutmu yang bau ke mukaku! Menjijikkan tahu!” kata Ryan dengan setengah berteriak.
“Siapa suruh masuk ke kamarku! Kamar seorang cewek adalah ruangan pribadi! Jangan karena ini rumahmu, kau seenaknya saja masuk ke kamarku. Selimutku juga tidak bau! Lagipula, kenapa sih kau selalu masuk ke kamarku akhir akhir ini?” jawabku dengan setengah berteriak juga.
“Kalau begitu tanyakan saja pada ibu ku! Sebelum Ayah dan Ibu pergi ke luar negeri untuk beberapa minggu, ibu  menyuruhku untuk membangunkanmu setiap pagi! Dasar!”
“Aku sudah bisa bangun sendiri!” jawabku dengan berteriak lebih keras.
“Kau pikir semua percaya kau bisa bangun sendiri setelah telat delapan kali bulan kemarin? Hanya orang bodoh saja yang percaya! Jadi cepat bangun pemalas!” balas Ryan dengan senyum andalannya. Bagi orang lain, senyum itu sangat manis. Yah, memang manis. Tapi, bagiku itu adalah senyum penghinaan. Karena dia selalu tersenyum seperti itu jika sedang menghinaku.
Ryan adalah saudara tiriku. Tapi, dia sendiri tidak ingin dianggap saudara. Dia ingin aku hanya menganggap dia sebagai teman saja. Kata ibu Ryan, saat Ryan masih berumur dua bulan. Ayah Ryan menemukanku di tempat sampah. Beliau menemukanku saat sepulang kerja. Kala itu sedang hujan, dan dia merasa iba melihatku menangis kedinginan. Jadi, Ayah dan Ibu Ryan memutuskan untuk mengasuhku.
Keluarga Ryan memang kaya raya. Maklum, Ayah Ryan memiliki perusahaan yang dia bangun sendiri. Kini perusahaan itu sangat diperhitungkan. Ibu Ryan adalah seorang penyanyi Jazz terkenal. Mereka berdua amat serasi. Ditambah lagi, kecerdasan Ryan berada di atas rata rata. Benar benar keluarga yang sempurna. Terkadang, aku merasa diriku berbeda dengan mereka.
Oke, aku belum menceritakan namaku. Namaku adalah Lily. Lily Therane, nama itu adalah pemberian dari Ibu Ryan. Sebenarnya, Ibu Ryan juga ingin menambahkan nama keluarga mereka. Tapi, saat aku kelas empat aku memutuskan untuk menghapus nama keluarga itu. Karena, aku merasa bukan bagian inti dari keluarga mereka.
Aku adalah seorang murid SMP kelas 2. Aku satu sekolah dan satu kelas dengan Ryan. Sekolah yang kami ambil bukan sekolah favorit atau sekolah kumpulan anak anak kaya. Kami hanya mengambil sekolah yang biasa saja. Ayah Ryan juga tidak setuju bila kami masuk sekolah anak anak yang kaya. Baginya, mereka tidak berpengaruh baik bagi kami. Walaupun keluarga Ryan sangat kaya raya. Aku rasa, mereka tidak sadar kalau mereka sangat kaya raya.
Aku adalah anak yang suka berimajinasi. Aku sangat menyukai dunia Anime, Game Online dan Dongeng. Bagiku, dunia itu sangat menarik untuk didalami. Terkadang, aku bisa menghabiskan lebih dari satu jam hanya untuk membayangkan bagaimana bila aku nanti masuk ke dunia sana. Terkadang, aku berpikir menjadi seorang ksatria pedang wanita dan berpetualang di dunia dunia aneh. Melawan Troll, Minotaur dan makhluk dongeng lainnya
“Melamunkan apa sih? Pagi pagi sudah melamun!” teriak Ryan tepat didekat telingaku. Sial, telingaku langsung berdengung keras. Aku sudah hendak menendang perutnya. Tapi, dia sudah keluar dari kamarku dan kabur dengan tertawa keras.
Aku melirik jam dinding yang menempel di atas pintu kamarku. Masih jam lima. Seketika, rasa ngantuk kembali mendatangiku. Aku membenamkan kepalaku di selimut. Oke, kuakui selimut mulai mengeluarkan bau apek. Aku rasa aku harus mencucinya.

Seusai mandi, aku mengganti baju tidurku dengan seragam. Seragamku bewarna biru tua dan berlengan panjang. Ditambah dengan pita merah sebagai dasi dan rok selutut warna merah juga. Juga mengenakan kaos kaki putih yang membuatku terkadang berpikir kalau yang mendesain seragam ini sangat menyukai anime.

Sambil menahan rasa ngantuk, aku berjalan ke arah kelas. Aku memutuskan untuk tidur saja di jam pelajaran geografi. Karena  guru geografi kami tidak pernah sadar kalau murid muridnya tertidur atau makan di kelas.
“Hey, kalau jalan yang cepat dong!” tiba-tiba saja, Ryan mendorongku hingga menabrak pintu kelas. Spontan, baik yang berada di dalam kelas dan di luar kelas tertawa melihat kondisiku saat ini. Wajahku langsung merah padam.
“Ryan! Aku akan menghajarmu di rum…” aku tak bisa menyelesaikan kalimatku karena mulutku dibekap oleh Ryan. Aku hampir lupa kalau kami merahasiakan keberadaan tempat tinggal kami. Semua anak sampai saat ini mengira kalau kami bertetangga. Kami tidak ingin teman teman kami salah sangka kalau mengetahui kami tinggal serumah. Bisa bisa, mereka berpikir hal yang tidak tidak.
Perlahan, Ryan melepas bekapan tangannya dari mulutku. Aku menghela nafas. Maklum, tangannya juga menutup sebagian hidung. Hingga menyulitkanku untuk bernafas. Ryan berbalik dan masuk ke dalam. Setelah berhasil mengatur nafas, aku juga mengikutinya masuk ke dalam kelas.
Begitu aku masuk kelas, aku langsung disambut oleh dua senyum yang berbeda. Dua senyum yang berbeda orang dan berbeda maksud. Dua senyum itu berasal dari Zahra dan Fani. Mereka adalah sahabat karibku sejak SMP. Zahra, mengeluarkan senyum jahil nya yang bertujuan untuk menggodaku karena aku dekat dengan Ryan. Sedangkan Fani, mengeluarkan senyum tulus yang seakan mengatakan “Selamat pagi, kamu nampaknya sehat sehat saja hari ini Lily”. Nah, berbeda jauh bukan?
Aku segera menaruh tas di bangku. Zahra dan Fani mengikutiku. Tampaknya mereka ingin membicarakan sesuatu. Oke, sebelumnya aku jelaskan dulu kedua sahabat karibku sejak SD ini.
Zahra, memiliki rambut hitam sebahu. Dia memang pas dengan rambutnya itu. Apalagi, wajahnya yang tirus membuat dia terlihat makin keren. Kulitnya yang kecoklatan membuat banyak turis mancanegara berusaha mendekatinya. Tapi, Zahra  lebih senang berteman daripada berpacaran. Apalagi, dia jenis anak yang jahil dan blak blakan.
Sedangkan Fani merupakan salah satu sosok yang sering menjadi acuan cantik orang kebanyakan. Kulit putih, rambut panjang, tinggi serta hidung mancung. Apalagi dia memiliki sifat yang bijaksana dan pendiam. Sangat bertolak belakang dengan sifat Zahra. Terkadang, aku bingung kenapa mereka bisa berteman sejak lama.
Sedangkan aku? Ok, sekarang aku memiliki rambut yang cukup panjang. Mungkin sekitar sebahu lebih. Aku selalu mengikat rambutku ke belakang dan meninggalkan sedikit rambut di pelipis.. Seandainya sekolah ini boleh mengenakan celana, aku jauh lebih memilih celana panjang. Terkadang aku risih bila memakai rok.
“Tuh kan, melamun lagi! Kenapa sih kau tak bisa menghentikan kebiasaan jelekmu itu!” hardik Zahra yang membuatku terperanjat kaget. Aku menoleh ke arah Zahra dan Fani. Zahra menatapku dengan galak, sedangkan Fani masih tersenyum tulus.
“Itu kan terserah aku!” jawabku dengan cuek.
“Aku kan peduli padamu! Coba kalau Ryan yang memarahimu pasti kau langsung menurut. Karena, Ryan kan pacarmu…” jawab Zahra dengan senyum mengejek. Fani dan beberapa anak lain yang mendengarnya, mulai tertawa.
“Dia itu bukan pacarku, teman saja tidak!”
“Oh ya? Semua sudah tahu kalau kau dan dia berpacaran. Iya kan?” Zahra mengangkat sebelah alisnya, membuat wajahnya makin menyebalkan.
“Sudah, sudah! Nanti Lily tidak mau ikut ke café lho…” kata Fani pada akhirnya. Dia berusaha menenangkan kami berdua. Yah, cukup ampuh lho.
“Café? Café apa?”
“Kita akan pergi ke café baru yang terletak dua blok dari sekolah. Kabarnya, café itu memiliki interior yang bagus dan juga, suasananya juga cukup romantis lho. Jadi, kami sekelas memutuskan untuk pergi ke sana. Oh iya, disana juga terdapat karaoke serta live music” jelas Fani. Aku hanya mengangguk angguk saja tanda mengerti.
“Nah, masalahnya ada satu. Aku yakin kau pasti ikut. Tapi, Ryan tidak mau ikut. Karena itu bolehkah kami minta tolong?” lanjut Zahra dengan senyum imut yang dibuat buat.
“Yah, tergantung apa yang kamu minta. Kalau susah aku tidak mau. Jadi, apa yang kalian inginkan?” jawabku sambil menatap mereka berdua. Zahra tersenyum makin lebar.
“Kami ingin kau memaksa Ryan untuk ikut” jawab Zahra. Bel tanda masuk berbunyi. Zahra dan Lily segera kembali ke tempat duduk mereka. Meninggalkan aku yang sedang terkejut.
Aku, harus memaksa Ryan ikut?!

Aku melirik Ryan sebentar. Kebetulan kami sebangku. Namun, bila sedang dalam pelajaran, Ryan berbeda sekali saat di rumah atau di saat jam istirahat. Dia menjadi murid yang pendiam dan sangat memperhatikan apa yang diajarkan para guru. Apalagi, seperti saat ini pelajaran Fisika sedang berlangsung. Jangan harap dia mau menoleh sebentar saja ke kanan atau ke kiri.
Dengan mengumpulkan segenap keberanian, Aku memukul dengan halus lengannya. Tapi, dia tidak bergeming. Matanya tetap lurus kedepan. Sial! Dia tidak menganggapku sedikit pun. Berkali kali aku memukul lengannya. Awalnya pelan, kemudia makin keras dan keras. Pada akhirnya dia menyerah.
“Ada apa sih? Sudah kubilang berkali kali, aku tidak suka diganggu saat pelajaran!” kata Ryan dengan dahi mengerut. Dia terlihat 5 tahun lebih tua bila seperti itu. Aku hampir saja tertawa.
“Apa benar kau tidak ikut ke café bersama teman teman?” Dia hanya menggeleng. “Yah, kenapa kau tidak ikut? Semua anak ikut, kenapa kau tidak ikut?” lanjutku kemudian. Dia menatap dalam mataku.
“Itu terserah aku. Sebaiknya,kau tidak usah ikut ikut!” jawab Ryan dengan setengah membentak. Membuatku manjadi emosi.
“Memangnya kau perlu membentak?! Aku menanyaimu dengan baik baik, tahu! Ya sudah, kalau tidak ikut terserah kamu!” Setelah itu, kami terdiam sampai sekolah berakhir.
Dia memang tidak datang ke café bersama kami. Wajah beberapa teman temanku, termasuk Zahra terlihat kecewa. Nampaknya, Zahra yang terlihat makin kecewa. Mungkinkah dia menyukai Ryan? Ah, itu bukan urusanku. Entah kenapa aku menjadi merasa bersalah pada mereka semua. Aku juga merasa bersalah pada Ryan. Apakah aku terlalu keras padanya? Tapi, dia duluan yang membentak. Memikirkan ini membuatku pusing.

Aku membanting tasku di sudut kamar. Masih pukul delapan malam. Anehnya, Ryan tidak ada di rumah. Mungkin dia bermain game di kamarnya. Aku sempat melirik komputer yang berada disebelah kasurku. Entah kenapa, keinginan untuk bermain game menghilang. Aku merasa ngantuk.
Tanpa mengganti pakaianku, aku berbaring di kasurku. Menjijikan memang berbaring di kasur tanpa mandi dan mengganti baju. Tapi, aku benar benar mengantuk. Aku memejamkan mataku dan aku masuk ke alam mimpi yang indah dan menyenangkan.
Mungkin, ini malam terakhir aku bisa bermimpi indah dan aku menyesal tidak memaafkan Ryan.
*****

“Apakah persiapannya sudah siap?” tanya lelaki itu sambil menatap kota jauh.Dia sudah tak sabar menanti semua perubahan yang akan terjadi pada dunia.
“Siap, semua warga bumi sudah kami tidurkan dengan sihir kita. Tinggal menunggu perintah selanjutnya dari Anda,” jawab seorang lelaki berkerudung lainnya. Lelaki yang sedang menatap pemandangan kota itu tersenyum.
“Jalankan!” perintah lelaki itu. Dengan segera, anak buahnya membentuk lingkaran yang besar. Lelaki itu ditengah tengahnya, membawa kalung berwarna hijau tosca.
Kalung itu bersinar terang, makin terang dan menyelimuti seluruh bumi.
“Aku telah melakukannya, Lily,” kata lelaki itu sambil tersenyum senang.
*****
Aku terbangun. Entah aku terbangun dan masuk ke dunia lain atau apa. Mungkin saja aku sedang bermimpi.
Karena, aku terbangun bukan di kamarku sendiri. Huh?!
Aku memandang sekeliling. Kamarku yang didominasi warna biru kini telah menghilang. Poster poster manga dan anime yang menempel di dindingku menghilang dan diganti dengan dinding polos warna coklat. Selimutku yang juga berwarna biru kini berubah menjadi selimut berbulu domba warna coklat. Komputer dan handphoneku menghilang. Apa yang terjadi sekarang ini?!
Dengan tergesa-gesa, aku bangkit dari tempat tidur. Seragamku berubah menjadi gaun tanpa lengan selutut warna coklat. Aku juga memakai kalung hijau tosca. Lantainya terbuat dari tanah, dinding terbuat dari batu dan kasurnya terbuat dari bulu bulu angsa.
Kemudian, aku berlari ke arah jendela. Lalu melihat sekeliling rumahku. Semuanya berubah. Rumah rumah yang dibangun secara modern kini berubah seperti rumah ala pedesaan. Beberapa orang yang tampak kebingungan juga memakai baju baju seperti itu. Ada yang hanya memakai kain dan celana katun, ada juga yanh memakai gaun yang sangat indah.
Entah kenapa, hatiku serasa senang. Apakah ini yang namanya dunia dongeng? Dibelakang pemukiman rumah, terdapat bukit hijau. Yang bila kuingat dengan benar, dulu itu adalah bangunan sekolahku. Matahari begitu cerah, burung berkicauan. Kalau ini mimpi, aku akan menyumpahi dengan segala sumpah serapah yang aku ketahui kepada orang yang membangunkanku.
“Lily! Kau sudah bangun? Syukurlah!” tiba tiba saja Ryan sudah berada di belakangku. Aku segera membalikkan badanku. Begitu aku melihatnya, aku terkejut setengah mati.
Aku lupa, kalau dia juga berubah. Kini, dia hanya memakai kaos katun putih kecoklatan, celana hitam dan sepatu bot cokelat tua. Dia juga membawa dua gulungan kertas. Wajahnya terlihat panik.
“Apakah aku sedang bermimpi?” kataku pada akhirnya. Ryan menggeleng lemah dan berkata, “Tidak, bagaimana mungkin aku juga bermimpi yang sama?” Aku mengalihkan pandanganku lagi ke jendela.
“Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Kita terbangun dan berada di sebuah dunia yang aneh,” Aku menatap ke pemandangan yang terpampang di mataku. Dunia ini, dunia yang kulihat ini benar benar indah. Hanya saja, dunia ini seakan menyimpan misteri yang mengerikan di balik keindahannya.

7 hari kemudian…
Tujuh hari sudah berlalu, tapi dunia masih dilanda kebingungan. Beberapa mulai berusaha menerka nerka. Ada yang mengatakan kalau ini adalah teknologi terbaru dari pemerintah dimana apa yang kita lihat, dengar dan rasakan bisa dimanupulasi. Ada juga yang mengatakan kalau ini adalah serangan dari alien.
Aku sendiri, sejujurnya begitu menyukai lingkungan yang sekarang. Tak ada polusi, jalan jalan terbuat dari batu batu. Tumbuhan berada dimana mana. Rasanya… seperti berada di dunia dongeng. Anak anak sendiri, aku yakin juga sama sepertiku. Menikmati dunia yang sedang terjadi sekarang.
Tapi, aku juga sangat merindukan Fani dan Zahra. Tempat tinggalku dan tempat tinggal mereka berdua memang terpaut cukup jauh. Ketika aku mencoba untuk keluar dari daerah tempat tinggalku. Banyak orang melarangku. Karena, mereka tak tahu apa yang berada di luar sana. Benar, daerah tempat tinggal kami dibatasi oleh dinding setinggi dua meter.
Pada akhirnya, selama tujuh hari aku hanya berjalan jalan di sekitar rumah dan membeli makanan secukupnya. Oh ya, beberapa makanan pun juga ikut berubah. Menjelang sore, aku memandang matahari terbenam dari jendela kamarku.
Ryan selama tujuh hari ini selalu ikut berkumpul dengan warga lainnya. Dia juga ikut menerka nerka apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Ryan juga tidak mempedulikan diriku. Mungkin itu akibat pertengkaran waktu itu di sekolah.
Ketujuh kalinya, aku memandang matahari terbenam.
Inilah permulaan dari penderitaan kami.

Aku menutup jendela kamarku dan turun untuk makan malam. Ah, tiba tiba aku teringat sesuatu. Di pojok kamar, terdapat sebilah pedang. Memandang pedang itu membuat perasaanku tidak enak. Buru buru aku mengalihkan pandanganku.
Di ruang makan, aku mendapati kalau Ryan belum ada disana. Makanan hari ini hanyalah ikan bakar yang kubeli di toko tadi siang. Namun, setelah aku baru memakan lima suapan. Seseorang menjerit.
Cepat-cepat, kuletakkan ikan bakar itu ke piringnya lagi. Aku hendak berlari ke arah pintu depan rumah. Tapi, aku menghentikan langkahku melihat pintu kamarku.
Aku harus membawa pedang itu! Kataku dalam hati.
Dengan tergesa-gesa, aku mengambil pedang itu dan segera berlari keluar rumah. Aku tidak tahu apa fungsi pedang itu nanti, tapi aku merasa aku harus membawanya.
Aku membuka pintu rumahku dan terkejut melihat lingkungan sekitarku. Ini, mengerikan sekali. Semua orang berlari ke arah barat seakan menghindari sesuatu dari arah timur (kebetulan rumahku menghadap ke arah utara).
Aku menoleh ke arah timur dan melihat sebuah api besar melalap puluhan rumah. Huh? Hanya karena kebakaran saja? Menggelikan sekali. Bukankah mereka bisa memadamkan api itu, di dekat sini terdapat sungai yang cukup deras. Kenapa mereka tidak memadamkan apinya saja?
“Lily! Cepat lari!” tiba- tiba saja, Ryan menarik tanganku.
“Hey! Apa yang terjadi? Kenapa semua orang kabur hanya karena kebakaran saja?” tanyaku sambil mengikuti Ryan yang sedang berlari.
“Kita diserang sebuah raksasa dengan tanduk di kepalanya dan api berkobar kobar di mulutnya,” jawab Ryan tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku menoleh ke belakang, disana memang ada bayang bayang sebuah raksasa yang sangat tinggi dan memiliki tanduk. Tinggi monster itu mungkin sekitar lima belas meter.
Masih banyak orang yang berada di belakangku. Beberapa diantaranya adalah anak anak. Mereka bisa saja mati terinjak, atau terbakar oleh api dari mulut monster itu. Memikirkan hal itu membuatku sesak.
“Ryan, tunggu sebentar!” Kulepaskan genggaman tangannya. Dia membalikkan badan dan menatapku dengan marah.
“Lily! Kita sedang dilanda bahaya besar! Kita harus lari dan mencari tempat perlindungan,” jerit Ryan.
“Tidak, Ryan! Disana, banyak anak anak dan kakek nenek yang perlu kita selamatkan! Kita harus menolong mereka,” jawabku dengan suara yang berusaha aku tenangkan.
“Aku ini kakakmu! Aku harus menjagamu tetap selamat sampai akhir hayatku. Itu adalah sumpahku pada ayah dan ibu,” Ryan menangkup pipiku. Matanya berair. Astaga, Ryan menangis.
“Ryan… apa kau lupa betapa aku senang mempunyai kakak sepertimu, walau aku hanyalah saudara angkatmu? Aku juga tidak ingin berdekatan dengan monster itu. Tapi, kita tidak bisa hanyalah berlari. Kita harus menghentikan monster itu dan kita bisa tinggal dengan tenang,” aku lepaskan tangan Ryan dari pipiku perlahan.
“Kau benar. Pergilah adikku,” Ryan memelukku sebentar. Dia tersenyum pasrah. Aku melepas pelukannya dan berbalik ke arah mosnter itu. Kukeluarkan pedangku. Aku memang tak bisa berkelahi, tapi entah perasaan dari mana aku yakin aku bisa mengalahkannya.
Pedang itu berwarna transparan, berbentuk limas segitiga sama kaki. Pedang itu benar benar indah disertai permata biru muda di gagangnya. Benar benar serasi dengan bilah pedang itu.
Aku menoleh ke belakang sebentar dan Ryan sudah menghilang. Entah kenapa, melihat Ryan tidak berada di sisiku membuat hatiku terasa tertusuk ribuan jarum.

Aku berlari disela sela rumah agar tidak terlihat oleh monster itu. Monster itu sibuk membakar jalanan dan tampaknya kebingungan akan banyaknya jeritan yang terdengar.
Dengan lincah, aku menaiki tangga yang mengarah ke salah satu atap rumah. Kemudian, aku berlari ke tepi atap dan kini, aku hanya berjarak sekitar dua meter dari muka monster itu.
Oke, pertama aku tidak bisa berpedang. Aku memang pernah mengikuti kendo saat SD, karena waktu itu banyak teman temanku yang mengikutinya. Tapi, aku salah satu yang paling tidak mahir disana. Kedua, aku tidak pernah berkelahi. Karena aku seorang cewek dan tentu saja seorang cewek jarang berkelahi.
Jadi, hal yang kulakukan sekarang ini benar benar nekat dan… sedikit bodoh. Tidak, sangat bodoh sekali.
Aku menarik nafasku dalam dalam, dan berteriak, “Hoy! Monster jelek! Lihat kesini!” Beberapa orang memandangku dengan terkejut. Monster itu menoleh kepadaku, wajahnya jauh lebih menyeramkan daripada yang aku bayangkan. Tapi, ini tidak akan menghentikanku untuk menghancurkannya.
“Lawan aku bodoh!” jeritku sekerasnya.
Tanpa berkata apa apa, monster itu mengepalkan tangannya dan mengarahkannya langsung ke arah mukaku.

Lanjutan : http://alexvesal1.blogspot.com/2013/04/epilog-bertarung-tanpa-tujuan-update-ii.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah mau membacanya, walaupun capek :D
Pembaca yang baik ada baiknya memberi penulis yang bodoh ini kritik dan saran :)
Mohon kritik dan sarannya