2013/04/10

Bab 1 : Lily dan Ryan

Suara kicauan burung sayup sayup mulai terdengar. Udara sejuk mulai menelusuri seluruh tubuhku. Ditambah dengan empuknya kasur yang kutiduri dan lembutnya selimut yang menutupi tubuhku, membuatku ingin melanjutkan tidurku kembali.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
Dengan cepat kubuka mataku dan segera bangun. Berkas sinar matahari yang melewati jendela sempat menyilaukan mataku. Setelah berhasil menyesuaikan diri, aku melihat sekeliling.
Kamar tempatku tidur saat ini memiliki dekorasi seperti kamar kerajaan abad lima belas hingga tujuh belas. Lantainya terbuat dari keramik berwarna cokelat. Di setiap jendela, terdapat banyak ukiran yang tidak akan membuatku bosan. Tanaman hijau berada di setiap sudut ruangan. Tepat diseberang kasur, terdapat pintu yang menuju ke balkon kamar. Pintu itu terbuat dari kaca, sehingga membuatnya berfungsi menjadi jendela juga.
“Ah, kau sudah bangun rupanya,” seseorang tiba tiba masuk dan menyapaku. Aku menoleh ke arahnya. Begitu melihat wajahnya, mataku langsung terbuka lebar.
“Fanie?!” seruku tak percaya. Fanie hanya tersenyum dan duduk di kursi yang berada di samping kasurku. Mataku tak pernah lepas darinya.
“Kau kaget ya dengan penampilanku saat ini?” tanya Fanie sambil tersenyum.
Fanie yang kulihat saat ini jauh lebih cantik daripada dulu. Rambutnya menjadi berwarna pirang kecoklatan dan disertai mata berwarna biru laut. Dia juga terlihat lebih tinggi dan lengannya terlihat sedikit berotot. Tapi, yang membuatku tercengan adalah telinganya. Telinga Fani menjadi runcing di ujungnya.
“Apakah kau berubah menjadi seorang elf?” setelah beberapa saat aku berhasil menyimpulkan dia berubah menjadi apa. Elf memang terkenal sangat sempurna. Mereka juga terlihat sangat anggun bila bertarung. Tapi mereka terkadang juga terlihat ganas. Saat berbicara mereka terlihat memiliki intelejensi tinggi dan berbicara dengan nada tenang. Elf memang sangat pas dengan karakter Fanie. Dulu, aku memang terkadang berandai Fanie berubah menjadi elf. Sekarang, aku dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
“Tebakanmu benar sekali,” jawab Fanie sambil tersenyum lagi. “Aku tahu kau pasti bingung kenapa kau ada di sini.”
“Ya, benar sekali. Bagaimana aku bisa di sini?” sahutku, mendadak aku teringat Ryan “Oh ya, di mana Ryan?”
Fanie menatapku dengan bingung. Aku juga balik menatapnya. Ada apa? Kenapa Fanie terlihat kebingungan? Pada akhirnya, Fanie menjawab, “Disaat kami menolongmu, kami hanya menemukanmu dan jasad monster itu.”
“Apa?! Mungkin saja kalian melewatkan sesuatu. Aku yakin Ryan berada di sana,”
“Tidak, aku bersungguh sungguh,”
“Baiklah, ceritakan padaku apa yang terjadi,”
“Saat ini kamu berada di kota elf. Di kota ini, kami para elf, membentuk sebuah pasukan untuk menolong siapa saja yang tidak tahu apa yang terjadi pada dunia ini. Selama tujuh hari, kami terus menolong dan memberitahu semua orang yang berada di sekitar kota kami,”
Aku menatapnya tak percaya. Selama tujuh hari, Fanie dan semua orang yang menjadi elf terus menolong orang orang yang sedang kesulitan. Aku sempat merasa malu, karena selama tujuh hari itu, aku hanya berjalan jalan di sekitar desa dan menatap matahari terbenam sore harinya.
Fanie kembali melanjutkan ceritanya, “Pada hari ketujuh. Kami memutuskan pergi ke desamu. Diluar dugaan, ternyata desa yang kalian tinggali di serang oleh minotaur. Memang daerah itu cukup banyak ditinggali minotaur liar. Tapi, kami tahu kalau kami terlambat,” Fanie mengepalkan tangannya. Seakan terdapat penyesalan akibat keterlambatan mereka. Aku sampai tidak tahu harus berbuat apa.
“Fanie? Kau tak apa apa?”
Nampak tersadar dari lamunannya, dia buru buru menjawab, “Ah, setelah itu kami sampai di desamu. Ternyata, monster itu sudah dikalahkan dengan ribuan panah di tubuhnya. Lalu, kami menemukanmu di samping salah satu rumah. Dengan segera, kami mengangkatmu dan membawa kesini, karena melihat luka luka yang kau derita cukup parah,”
“Tunggu dulu, kau berkata monster itu mati dengan ribuan panah di tubuhnya?”
“Ya benar sekali,”
“Itu tidak mungkin…”
“Apanya yang tidak mungkin?” tanya Fanie dengan penasaran.
“Karena, baik aku maupun Ryan berada dalam keadaan sekarat,”
“Mungkin saja, Ryan masih bisa bertarung dan memanahnya ribuan kali,”
“Tidak mungkin. Ryan menggunakan senjata pedang dengan kristal kristal es mengelilingi bilah pedangnya. Jadi, tidak mungkin Ryan mengalahkan monster itu,”
Fanie menyandarkan tubuhnya di kursi. Tampak sedang berpikir. Tapi, tidak dapat disembunyikannya, terdapat raut muka yang penuh penyesalan. Aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Fanie. Entah apa itu.
“Nah, hari sudah siang. Gantilah bajumu, dan pergilah ke ruang makan. Aku masih ada beberapa urusan dengan pimpinan,” kata Fanie pada akhirnya sambil tersenyum. Dia berdiri dan berjalan meninggalkan kamar. Meninggalkanku sendirian. Yang sebenarnya, sangat ingin tidur kembali di kasur yang empuk ini.
***
Koridor istana elf memang tiada duanya. Batu batu yang tersusun rapi di sebelah kanan, dan pilar pilar serta pagar yang juga terbuat dari batu di sebelah kiri. Koridor itu juga menawarkan pemandangan yang mengagumkan. Kawasan ladang hijau dan bukit serta pohon pohon cemara. Tidak lupa, terdapat sungai kecil yang memisahkan kawasan istana dan ladang hijau. Hal itu, membuat Fanie merasa nyaman.
Fanie memutuskan untuk duduk di pagar menghadap ke pemandangan spektakuler tadi. Sehingga, bila ada yang mendorongnya. Dia tinggal terjatuh dan tentu saja, mati. Tapi, Fanie tidak begitu memikirkan hal itu. Lagipula, dia memiliki perisai sihir sehingga membuatnya tahu bila ada orang yang mendekat.
Tapi, perisai sihir itu tidak berguna di satu orang.
Orang itu adalah Delrico Aldrich. Seorang keturunan Prancis Amerika. Kini, dia menjabat sebagai pangeran para elf di kota itu. Ibunya, Alair Aldrich adalah ratunya. Maklum, dia dan ibunyalah yang pertama kali mengusulkan untuk menolong orang lain. Sehingga, semua elf memutuskan untuk mengangkat mereka menjadi ratu.
Tiba-tiba saja, Delrico mendorong Fanie hingga membuatnya nyaris terjatuh. Untunglah, Fanie cukup siap hingga tidak terjatuh. Andaikan itu orang lain, maka Delrico sudah membunuh satu orang. Dengan segera, Fanie membalikkan badannya dan memasang wajah marah.
“Oh, kau tak perlu memasang raut muka seperti itu,” kata Delrico sambil tertawa. Sihir, membuat Fanie bisa mengerti apa yang dikatakan Delrico. Walaupun Delrico berbicara menggunakan bahasa Perancis.
“Ya, aku harus memasang wajah seperti ini karena kau nyaris membunuhku!” jawab Fanie sambil menyipitkan matanya. Tentu saja, Delrico juga tahu apa yang dikatakan Fanie dengan sihir. Walaupun, Fanie berbicara menggunakan bahasa dari tempat asalnya, Indonesia.
“Baiklah. Maafkan aku. Maafkan aku, Tuan Putri,” jawab Delrico sambil membungkuk dan mencium tangan Fanie. Tentu saja, wajah Fanie langsung merona merah. Cepat-cepat Fanie menarik tangannya sambil mengalihkan wajahnya.
“Hentikan tindakan itu, kau hampir membuatku nyaris muntah,” jawab Fanie dengan nada bicara sesinis mungkin. Tapi, Delrico tahu kalau wajah Fanie merona merah. Delrico tersenyum jahil.
“Apakah kau biasanya muntah sambil muka merona merah?” tanya Delrico penuh kemenangan. Mendengar itu, pipi Fanie makin merona merah.
“Terserah kau!” jerit Fanie sambil menahan malu.
“Hahaha! Wajahmu benar benar lucu,” kata Delrico sambil tertawa keras.
Delrico memang memiliki wajah yang tampan. Dia juga memiliki karisma sehingga banyak disukai wanita, sesungguhnya, Fanie juga sedikit menyukainya. Hanya saja, Delrico memiliki sifat jahil. Walaupun Fanie baru mengenal Delrico, tapi hanya Delrico yang berhasil membuat dia emosi seperti tadi. Selama ini, Fanie selalu berhasil menekan emosinya. Tapi bila harus berhadapan dengan Delrico, Fanie tidak pernah berhasil menekan emosinya.
Hari ini, Delrico membawa sebuah tombak di tangan kanannya dan busur panah beserta panahnya di punggungnya. Elf, memang diberi sebuah kelebihan. Yaitu dapa menguasai dua senjata sekaligus. Elf memang dikarunai bisa memanah, tapi mereka juga dikarunai menguasai keahlian lain. Sedangkan manusia perlu mempelajari dulu agar bisa menguasai dulu. Seperti Delrico yang ahli memanah dan ahli juga dalam menggunakan tombak. Biasanya, dia menggunakan tombaknya untuk berburu. Berbeda dengan Fanie, yang bisa memanah serta menggunakan dua pedang secara bersamaan. Sayangnya, itu hanya terbatas pada pedang yang berukuran dua puluh sampai tiga puluh sentimeter.
“Hey bagaimana dengan gadis itu? Kau sudah mengatakan apa yang dikatakan oleh ibuku?” raut muka Delrico tiba tiba menjadi serius.
“Ya, aku berkata seusai dengan apa kata ibumu. Tapi…” Fanie terdiam. Delrico juga diam saja, pada akhirnya Fanie melanjutkan lagi, “Kau tahu, sangat susah berbohong seperti itu.”
“Aku tahu…”
“Mengatakan kalau jasad temannya tidak ditemukan, ribuan panah misterius, dan dia… mempercayainya begitu saja,”
“Fanie, maafkan ibuku membuatmu berbohong seperti itu,”
“Untuk apa?!” suara Fanie terdengar seperti akan menangis, “Bila aku mengatakan yang sebenarnya. Maka, Lily akan marah. Dia bisa saja pergi ke sarang musuh demi mencari Ryan. Tanpa dia sadari, dia telah jatuh cinta pada laki-laki itu.”
“Yah, cinta memang hal yang aneh…”
“Tapi, benarkah nasib kita berada di tangan mereka?”
Mendengar itu, Delrico memutuskan untuk diam.
***
Suara gagak kembali membangunkanku. Membuat tidurku menjadi makin tidak nyaman saja. Karena sudah tidak tahan dengan suasana yang tidak mengenakan ini, aku memutuskan untuk bangun dari tidurku.
Disamping tidurku, terdapat seorang lelaki berumur tiga puluhan berdiri di samping tempat tidurku. Rambutnya sebahu dan berwarna silver. Bajunya semua berwarna hitam. Di tangan kirinya, dia membawa bunga mawar berwarna merah. Membuat dia tampak makin kejam.
“Kau sudah bangun, pangeran?” tanyanya sambil tersenyum.
Senyuman licik.
Update
Setelah selesai membersihkan diriku. Aku memutuskan untuk mengganti bajuku yang ternyata sudah sobek dimana-mana. Aku membuka lemari yang terdapat di kamar itu. Disana, terdapat banyak baju yang terlipat dengan rapi. Kebanyakan gaun.
Beberapa menit aku memilih gaun yang pas untukku. Karena aku sebenarnya paling tidak suka memakai gaun. Akhirnya, aku memilih gaun selutut tanpa lengan berwarna biru tua. Serta handsleeves warna hitam. Tak lupa, sepatu boot warna hitam juga.
Aku mengebaskan gaunku yang sebelumnya kupakai. Debu beterbangan dari gaunku. Aku sendiri sempat terbatuk batuk.
Klang!
Sesuatu terlempar dari gaunku dan membentur lantai. Kutaruh gaunku di kasur. Kemudian, mengambil benda yang jatuh itu.
Benda itu adalah kalung. Kalung dengan tali kulit berwarna hitam serta batu hijau tosca menghiasinya. Batu itu hangat, seakan ada sesuatu yang hidup dari kalung itu. Kalung itu sangat indah sekali.
Aku memutuskan untuk memakainya karena memang terlihat indah dan sangat pas dengan pakaian yang aku kenakan saat ini. Di sebelah lemari terdapat cermin yang tingginya lebih tinggi dari tubuhku. Aku berputar putar sebentar di depan cermin. Pertama kalinya, aku menyukai memakai gaun.

Suasana di ruang makan sangat tenang. Padahal, disana ada sekitar lima puluh orang, lebih tepatnya lima puluh elf. Mereka berjalan tanpa suara, hanya berbincang bincang sebentar dan pelan sekali suara mereka. Seakan semua yang mereka bicarakan itu adalah rahasia dan orang lain tak boleh mengetahuinya.
“Selamat pagi Lily!” Fanie menyapaku dengan ramah. Disampingnya, terdapat seorang lelaki yang berwajah cukup tampan. Lelaki itu tersenyum padaku.
“Perkenalkan, namaku adalah Delrico Aldrich,” lelaki itu menjulurkan tangannya.
“Namaku Lily Therane, senang bertemu denganmu,” aku menjabat tangannya dan melepasnya setelah berjabat.
“Lily, mari ikut kami,” kata Fanie sambil membalikkan badannya. Delrico juga ikut membalikkan badannya. Kami bertiga berjalan ke sebuah pintu di seberang meja makan. Pintu sekitar 2.5 meter tingginya dan 2 meter tingginya.
Lily membuka pintu itu dengan lembut. Seberkas cahaya keluar dari sela sela pintu. Cahaya itu sangat terang, sehingga membuatku harus menyipitkan mataku. Semakin lebar pintu itu terbuka, cahaya itu semakin terang. Hingga pada akhirnya, semuanya menjadi putih.

Perlahan, cahaya putih itu menghilang. Aku butuh mengerjapkan mataku beberapa kali. Sehingga mataku bisa menyesuaikan diri. Kini, kami berada di sebuah taman dengan tanaman serta bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya

2013/04/02

Epilog : Bertarung Tanpa Tujuan (Update II-Selesai)



Tanpa berkata apa apa, monster itu mengepalkan tangannya dan mengarahkannya langsung ke arah mukaku.
***
Sebelum tangannya mengenaiku, aku melompat ke kiri dan berhasil menghindarinya. Pukulannya meninggalkan lobang berdiameter sekitar satu meter di atap rumah tempatku berdiri saat ini. Sekali lagi, monster itu kembali menyerangku. Terpaksa, aku harus melompat sekali lagi. Selama beberapa detik, begitulah keadaannya. Aku bagaikan nyamuk yang berusaha menghindari pukulan tangan dari orang yang terganggu dengan keberadaanku.
“Kalau begini terus, bagaimana caranya untuk menyerang?” tanyaku pada diri sendiri.
Karena kurang berkonsentrasi, monster itu kembali berusaha menghantamkanku. Aku menjadi panik. Tanpa berpikir panjang, aku melompat ke atap rumah sebelahnya. Lagipula, atap rumah tempatku berdiri tadi kini sudah berlobang lobang dan bila dipukul lagi oleh monster itu, maka rumah itu bakal hancur. Melompat kesana cukup mudah, karena jaraknya mungkin hanya sekitar dua meter.
Sayangnya, pendaratanku buruk. Ketika kaki kiriku berhasil menyentuh atap, aku terguling ke kiri. Rasa nyeri kurasakan di pergelangan kaki kiriku. Aku terkilir dan membuatku susah bergerak. Aku berusaha merangkak menuju tepi atap. Tapi, di saat aku berusaha merangkak. Monster itu kembali menghantam diriku. Celakanya, kali ini pukulannya mengenai diriku.
***
Kepulan asap begitu tebal. Asapnya sanggup mencekik leher siapa saja yang menghirupnya. Juga, membuat mata menjadi iritasi dan berair. Tapi, itu tidak menggagalkan usaha Ryan dalam pencarian adiknya yang keras kepala itu.
Dengan membawa pedang besar, Ryan melompat lompat dari atap rumah ke atap rumah lain. Dengan harapan dia bisa menemukan adiknya. Tapi, yang ditemukannya adalah gulungan asap yang semakin tebal. Kalau saja Ryan tidak memakai sihir pelindung, dia pasti sudah mati tercekik.
Asal muasal dia mengetahui sihir dan teknik berpedang berdasarkan buku yang ditemukan di perpustakaan desa. Selain itu, dia juga mengetahui banyak tentang dunia yang mereka injak sekarang dan kenapa semua penduduk bumi bisa masuk ke dalamnya. Karena itulah, dia harus memberitahu Lily secepatnya. Karena, sejak membaca buku itu dan melihat pedang yang dipegang Lily. Dia yakin Lily bisa menyelamatkan dunia.
Setelah pencarian yang menguras energi di dalam tubuhnya. Dia melihat sosok itu, yang tak lain adalah minotaur. Terlihat bila monster itu seperti memukul atap atap rumah. Ryan juga melihat sesosok orang yang mengikat ekor kuda rambutnya sedang berlari lari menghindari pukulan pukulan mematikan itu. Jelas sekali kalau dia adalah perempuan dan jelas sekali kalau dia adalah Lily.
Dengan semangat Ryan berusaha mempersempit jaraknya dengan Lily. Perlahan, terlihat jelas sosok Lily dan Centaurus itu. Minotaur itu berwarna merah dan ototnya terlihat keras serta kuat. Dia cukup salut kepada Lily sebab berhasil menghindari monster itu cukup lama. Tapi, dia yakin Lily tak sanggup beberapa lama lagi.
Melihat gerakan Lily, Ryan yakin kalau Lily dianugerahi kecepatan dan ketangkasan cukup tinggi. Berbeda dengan Ryan yang dianugerahi kekuatan dan pertahanan yang tinggi. Mungkin, ini juga berhubungan dengan senjata masing masing.
Di saat sibuk memikirkan itu dan terus melompat mendekati adiknya. Lily melompat ke atap rumah lain. Tetapi, Lily terjatuh dan tampak kalau kakinya terkilir. Seketika, perut Ryan terasa menegang dan lambung seakan ingin keluar melewati mulutnya. Tampak Lily berusaha merangkak. Tapi, monster itu kembali melayangkan tinjunya dan kali ini mengenai Lily.
Seketika Ryan berteriak, “Lily!”
***
Aku yakin banyak tulangku yang patah. Karena, kini semua badanku terasa sangat nyeri dan sulit digerakkan. Semua ototku menegang dan badanku bagai tersengat listrik. Aku berusaha untuk bangkit tapi badanku tidak mengijinkannya.
Semula ruangan yang cenderung kemerahan akibat api. Kini berubah menjadi gelap seakan api itu berubah menjadi padam. Sekuat tenaga aku menoleh ke lubang tempatku jatuh. Leherku terasa sakit karena aku jatuh telungkup. Tampak tangan monster itu berusaha meraihku. Mataku terfokus pada mata itu seakan mataku dipenuhi tangan itu. Di tangan kananku masih terdapat pedangku. Tapi, tanganku tak bisa kugerakkan sedikit pun. Jarakku dengan tangan itu semakin dekat. Mungkin dia akan melumatku nanti. Jadi, beginilah aku harus mati? Mati dilumat oleh monster, menjijikkan.
Disaat ketakutan mulai merasukiku. Muncul sebuah kilatan biru horizontal dari kiri ke kanan. Kilatan itu mengenai tangan monster gila tiu dan membuat tangannya berdarah. Di antara aku dan tangan monster itu, berdiri seseorang yang mengenakan jubah sambil membawa pedang besar. Pedang itu dikelilingi kepingan kepingan es dan mengeluarkan uap air kebiru biruan yang pasti sangat dingin. Pedang itu sendiri berwarna merah. Sangat bertolak belakang dengan elemen pedang itu.
Lelaki itu menoleh padaku, mengabaikan darah panas yang mengenainya.
“Aku tak akan pernah meninggalkan sendirian adik bodoh sepertimu,” kata Ryan. Bibirku membentuk senyum jahil. Kemudian, Ryan menarik tanganku dan menggendongku di punggungnya. Badanku langsung terasa nyeri.
“Bodoh! Jangan menarikku keras keras! Badanku nyeri semua,” Aku menjerit keras. Tapi, Ryan tampaknya tidak mempedulikan jeritanku. “Tak ada waktu lama! Kita harus segera mencari ide untuk mengalahkannya! Kau punya ide?”
“Aku punya, tapi aku membutuhkanmu juga! Aku membutuhkan sihir kecepatanmu dan pedangmu untuk pertahanan,” Andaikan Ryan menatapku saat ini. Maka dia akan melihat mukaku menatapnya seakan menatap alien.
“Aku? Sihir apa? Aku tak bisa melakukan sihir! Itu hanya berada dalam buku buku,” jawabku dengan pelan. Ryan terdengar ingin ketawa. Andai saja tubuh ini bisa kugerakkan, aku akan menamparnya seketika.
“Lily, memang saat itu sihir hanya ditulis dalam buku buku fiksi. Tapi, kita sekarang hidup di dalam dunia yang diciptakan oleh sihir,” jawab Ryan sambil menahan tawa. Aku melirik Ryan dengan tatapan tak percaya. Jadi, memang benar selama tujuh hari ini aku hidup di dunia sihir? Aku merasa diriku ingin tersenyum.
“Oke, terserah kau. Tapi bagaimana caranya aku bisa melakukan sihir bila tubuhku tak bisa digerakkan? Aku harap kau bisa melakukan sesuatu. Well mengingat kita bisa sihir sekarang,” pintaku kepada Ryan. Tanpa berkata apa apa, Ryan memegang tanganku dan menggumamkan sesuatu. Dari tangannya keluar sinar berwarna kehijauan. Telapak tanganku terasa hangat. Hampir saja aku melompat ketika rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhku. Otot ototku serasa merileks. Rasa mengantuk mulai merayapi diriku. Aku bagaikan anak kecil yang hendak tidur akibat lagu ninabobo dari ibunya.
Tapi, rasa mengantuk itu menghilang ketika Ryan melepas tangannya. Aku mengerjap matak berkali kali untuk menyesuaikan diri. Setelah tersadar, aku teringat sesuatu.
“Oh ya, apa yang terjadi pada monster itu?” ujar ku untuk mengutarakan apa yang kusadari saat ini. Kita sudah berdiri disini cukup lama.
“Hah?” jerit Ryan menunjukkan kalau dia juga tersadar. Tepat setelah mengatakan seperti itu, monster itu kini menginjakkan kakinya. Andaikan kami juga tak menyadarinya, mungkin kami sudah rata dengan tanah. Untunglah, Ryan berhasil melompat menghindari dan kini berlari ke arah pintu rumah. Dia menendang pintunya dan segera berlari keluar.
“Nah, Lily! Sekarang dengarkan aku! Kau dianugerahi sihir kecepatan dan ketangkasan. Jadi, aku ingin kau membantuku dalam menghindari dan mendekatinya,” kata Ryan yang kini berlari ke belakang rumah rumah.
“Tapi bagaimana caranya? Kau mengatakan begitu seperti sihir menjadi hal yang biasa! Aku tak bisa sihir atau apalah itu!” jawabku dengan setengah berteriak.
“Baiklah, akan kuberitahu caranya. Arahkan pandanganmu ke tempat yang ingin kau tuju. Kemudian, katakan dalam hati kecepatan yang kau inginkan. Misalnya, secepat kuda atau apalah,” Ryan menjelaskan dengan cepat karena monster itu mulai mendekati kami.
“Hah? Kau pikir mudah melakukan hal yang seperti itu?”
“Ya ampun Lily! Kalau aku jadi kau yang sangat mudah melamun dan berimajinasi. Aku akan sangat bersyukur karena memiliki sihir sepertimu. Jadi, gunakan imajinasimu,” Ryan menjawab seperti itu dengan jengkel. Aku sendiri juga ikut jengkel. Kalau saja kami tidak dikejar kejar monster, aku akan mencekiknya hingga sesak nafas.
“Baiklah,” hanya itu yang keluar dari mulutku,
“Argh!” Aku dan Ryan menjerit bebarengan. Monster itu kini disebelah kiri kami. Mata kami berdua beradu dengan mata monster itu. Matanya berwarna hitam dan sebesar bola sepak. Mata itu seakan ingin menelan kami berdua.
“Oke, Lily. Arahkan pandanganmu ke atap sebelah kanan kita dan pikirkan kecepatan yang kau inginkan,” kata Ryan dengan lirih dan tidak melepaskan pandangannya dari mata monster itu. Perlahan aku menoleh ke arah atap yang dimaksud Ryan. Badanku bergetar semua, aku tak peduli Ryan akan protes atau tidak.
Aku ingin kecepatan secepat kuda yang berlari! Jeritku dalam hati. Tanpa sadar, aku sudah berlari ke arah atap itu. Aku memegang tangan Ryan dan menyeretnya ke arah atap. Aku merasa diriku terbang. Itu pasti karena kecepatan lariku sekarang. Hingga aku bisa terbang walau hanya sesaat.
Hentikan! Kataku dalam hati setelah aku dan Ryan berhasil menginjakan kaki kami di salah satu atap rumah. Jantungku berdetak kencang. Ingin rasanya jantung ini lompat dan keluar dari tubuhku. Ryan sendiri juga tampak kaget. Nafasnya terengah engah.
“Kau melakukannya dengan baik. Sekarang, aku mohon bantu aku dengan sihir dan pedangmu,” Ryan menunjuk ke arah pedangku yang masih di sarungnya. Aku hanya mengangguk dan mengeluarkan pedangku.
Tidak seperti tadi, pedangku kali ini mengeluarkan api. Api itu berada di sepanjang bilah pedang itu. Anehnya, aku merasa tidak panas sedikit pun. Aku memandang Ryan, berharap dia mau memberi jawaban. Tapi dia menggeleng dan mengulurkan tangannya.
“Nanti akan kujelaskan. Sekarang kita perlu membereskan monster itu dulu,” jawab Ryan. Aku memegang tangannya dan mengangguk. Dia menarik tanganku dan tanpa aba aba dia melompat. Aku menjerit sekeras kerasnya.
“Bodoh! Bilang dulu kalau kamu mau melompat! Jangan seenaknya saja,” Tapi, Ryan mengabaikan jeritanku dan mengatakan, “Cepat gunakan sihirmu! Sebelum kepala kita hancur akibat menyentuh tanah. Arahkan padanganmu ke lengan kirinya,” Dengan segera, aku mengalihkan pandanganku ke arah lengan kiri monster itu. Kita semakin dekat dengan tanah. Nyawaku dan Ryan berada di tanganku.
Arahkan aku ke lengan kirinya! Cepat! Jeritku dalam hati,
Seketika, aku berlari di udara ke arah lengan kirinya. Aku takkan membiarkan diriku jatuh. Ryan memegang erat tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihatnya tersenyum senang. Aku juga ikut tersenyum. Namun, ekpresi wajahnya berubah. Dia tampak melotot. Tiba tiba, pedang yang besar hampir menyambar kami berdua. Untunglah, Ryan berhasil menangkis pedang itu dengan cepat.
Dengan segera, aku kembali berlari ke tujuan awalku tadi. Kali ini, aku berusaha lebih cepat. Monster itu berusaha menjauhkan lengan kirinya dari kami. Namun, aku jauh lebih cepat daripada monster itu. Hanya tinggal beberapa meter saja jarakku dengan lengannya.
Tapi, disaat kakiku dan kaki Ryan berhasil menyentuh lengannya. Sebuah pedang menghantam punggung kami berdua. Kami terlontar cukup jauh. Tangan Ryan terlepas dari genggaman tanganku.
“Ryan!” Aku berusaha menggapai Ryan. Tapi, Ryan sudah tak sadarkan diri. Punggungnya berdarah. Dia sudah hampir terbelah dua. Dia terlihat seperti boneka.
Arahkan aku ke sana! Cepat! cepat!
Dengan segera aku terbang ke arahnya. Aku memeluknya pelan. Seakan takut kalau dia nanti benar benar terbelah menjadi dua. Anehnya, aku tak mengalami luka sedikit pun. Apakah Ryan melindungiku?
“Ryan, jawab aku,” dengan bodohnya aku bertanya pada orang yang sudah hampir terbelah menjadi dua. Tapi, aku tak ingin dia mati. Apalagi kalau dia mati akibat melindungiku. “Ryan, aku mohon jangan mati!”
Turunkan aku dan melambat lah!
Dengan sihir, kami berhasil turun dengan selamat. Dengan hati hati aku menurunkanya dan meletakkannya di tanah. Dia tidak bergerak sedikit pun. Tapi, samar samar aku dapat merasakan detak jantungnya. Benarkah Ryan akan mati?
“Ryan, aku mohon jangan mati!” jeritku sekeras kerasnya. Aku tak peduli dengan monster yang berada di belakangku. Aku terus menggoyang goyangkan tubuhnya. Mataku sama sekali tidak berkedip, seakan jika aku berkedip sekali saja Ryan akan menghilang. Sekali lagi aku berteriak, “Ryan!!”
Seusai aku berteriak, sesuatu memukulku dari belakang. Aku terlontar jauh ke depan sejauh beberapa meter. Aku yakin, beberapa tulangku ada yang patah. Dengan sisa sisa tenaga, aku menoleh ke arah Ryan yang masih tak sadarkan diri. Tanganku yang bergetar hebat masih berusaha meraihnya. Monster itu berjalan mendekatinya.
Aku merangkak pelan-pelan mendekati Ryan. Monster itu sudah hendak melayangkan tinjuan ke arah Ryan. Ingin aku menjerit, tapi suaraku tak mau keluar. Tanganku terus bergetar dan meraihnya. Berharap dapat meraih Ryan. Namun, kelopak mataku perlahan menutup. Tenagaku nyaris hilang.
Hal terakhir yang kupikirkan adalah Ryan.