Tanpa berkata apa apa, monster itu mengepalkan tangannya dan
mengarahkannya langsung ke arah mukaku.
***
Sebelum tangannya mengenaiku, aku melompat ke kiri dan berhasil
menghindarinya. Pukulannya meninggalkan lobang berdiameter sekitar satu meter
di atap rumah tempatku berdiri saat ini. Sekali lagi, monster itu kembali
menyerangku. Terpaksa, aku harus melompat sekali lagi. Selama beberapa detik,
begitulah keadaannya. Aku bagaikan nyamuk yang berusaha menghindari pukulan
tangan dari orang yang terganggu dengan keberadaanku.
“Kalau begini terus, bagaimana caranya untuk menyerang?” tanyaku pada diri
sendiri.
Karena kurang berkonsentrasi, monster itu kembali berusaha
menghantamkanku. Aku menjadi panik. Tanpa berpikir panjang, aku melompat ke
atap rumah sebelahnya. Lagipula, atap rumah tempatku berdiri tadi kini sudah
berlobang lobang dan bila dipukul lagi oleh monster itu, maka rumah itu bakal
hancur. Melompat kesana cukup mudah, karena jaraknya mungkin hanya sekitar dua
meter.
Sayangnya, pendaratanku buruk. Ketika kaki kiriku berhasil menyentuh atap,
aku terguling ke kiri. Rasa nyeri kurasakan di pergelangan kaki kiriku. Aku
terkilir dan membuatku susah bergerak. Aku berusaha merangkak menuju tepi atap.
Tapi, di saat aku berusaha merangkak. Monster itu kembali menghantam diriku.
Celakanya, kali ini pukulannya mengenai diriku.
***
Kepulan asap begitu tebal. Asapnya sanggup mencekik leher siapa saja yang
menghirupnya. Juga, membuat mata menjadi iritasi dan berair. Tapi, itu tidak
menggagalkan usaha Ryan dalam pencarian adiknya yang keras kepala itu.
Dengan membawa pedang besar, Ryan melompat lompat dari atap rumah ke atap
rumah lain. Dengan harapan dia bisa menemukan adiknya. Tapi, yang ditemukannya
adalah gulungan asap yang semakin tebal. Kalau saja Ryan tidak memakai sihir
pelindung, dia pasti sudah mati tercekik.
Asal muasal dia mengetahui sihir dan teknik berpedang berdasarkan buku
yang ditemukan di perpustakaan desa. Selain itu, dia juga mengetahui banyak
tentang dunia yang mereka injak sekarang dan kenapa semua penduduk bumi bisa
masuk ke dalamnya. Karena itulah, dia harus memberitahu Lily secepatnya.
Karena, sejak membaca buku itu dan melihat pedang yang dipegang Lily. Dia yakin
Lily bisa menyelamatkan dunia.
Setelah pencarian yang menguras energi di dalam tubuhnya. Dia melihat
sosok itu, yang tak lain adalah minotaur. Terlihat bila monster itu seperti
memukul atap atap rumah. Ryan juga melihat sesosok orang yang mengikat ekor
kuda rambutnya sedang berlari lari menghindari pukulan pukulan mematikan itu.
Jelas sekali kalau dia adalah perempuan dan jelas sekali kalau dia adalah Lily.
Dengan semangat Ryan berusaha mempersempit jaraknya dengan Lily. Perlahan,
terlihat jelas sosok Lily dan Centaurus itu. Minotaur itu berwarna merah dan
ototnya terlihat keras serta kuat. Dia cukup salut kepada Lily sebab berhasil
menghindari monster itu cukup lama. Tapi, dia yakin Lily tak sanggup beberapa
lama lagi.
Melihat gerakan Lily, Ryan yakin kalau Lily dianugerahi kecepatan dan
ketangkasan cukup tinggi. Berbeda dengan Ryan yang dianugerahi kekuatan dan
pertahanan yang tinggi. Mungkin, ini juga berhubungan dengan senjata masing
masing.
Di saat sibuk memikirkan itu dan terus melompat mendekati adiknya. Lily
melompat ke atap rumah lain. Tetapi, Lily terjatuh dan tampak kalau kakinya
terkilir. Seketika, perut Ryan terasa menegang dan lambung seakan ingin keluar
melewati mulutnya. Tampak Lily berusaha merangkak. Tapi, monster itu kembali
melayangkan tinjunya dan kali ini mengenai Lily.
Seketika Ryan berteriak, “Lily!”
***
Aku yakin banyak tulangku yang patah. Karena, kini semua badanku terasa
sangat nyeri dan sulit digerakkan. Semua ototku menegang dan badanku bagai
tersengat listrik. Aku berusaha untuk bangkit tapi badanku tidak mengijinkannya.
Semula ruangan yang cenderung kemerahan akibat api. Kini berubah menjadi
gelap seakan api itu berubah menjadi padam. Sekuat tenaga aku menoleh ke lubang
tempatku jatuh. Leherku terasa sakit karena aku jatuh telungkup. Tampak tangan
monster itu berusaha meraihku. Mataku terfokus pada mata itu seakan mataku
dipenuhi tangan itu. Di tangan kananku masih terdapat pedangku. Tapi, tanganku
tak bisa kugerakkan sedikit pun. Jarakku dengan tangan itu semakin dekat.
Mungkin dia akan melumatku nanti. Jadi, beginilah aku harus mati? Mati dilumat
oleh monster, menjijikkan.
Disaat ketakutan mulai merasukiku. Muncul sebuah kilatan biru horizontal
dari kiri ke kanan. Kilatan itu mengenai tangan monster gila tiu dan membuat
tangannya berdarah. Di antara aku dan tangan monster itu, berdiri seseorang
yang mengenakan jubah sambil membawa pedang besar. Pedang itu dikelilingi
kepingan kepingan es dan mengeluarkan uap air kebiru biruan yang pasti sangat
dingin. Pedang itu sendiri berwarna merah. Sangat bertolak belakang dengan
elemen pedang itu.
Lelaki itu menoleh padaku, mengabaikan darah panas yang mengenainya.
“Aku tak akan pernah meninggalkan sendirian adik bodoh sepertimu,” kata
Ryan. Bibirku membentuk senyum jahil. Kemudian, Ryan menarik tanganku dan
menggendongku di punggungnya. Badanku langsung terasa nyeri.
“Bodoh! Jangan menarikku keras keras! Badanku nyeri semua,” Aku menjerit
keras. Tapi, Ryan tampaknya tidak mempedulikan jeritanku. “Tak ada waktu lama!
Kita harus segera mencari ide untuk mengalahkannya! Kau punya ide?”
“Aku punya, tapi aku membutuhkanmu juga! Aku membutuhkan sihir kecepatanmu
dan pedangmu untuk pertahanan,” Andaikan Ryan menatapku saat ini. Maka dia akan
melihat mukaku menatapnya seakan menatap alien.
“Aku? Sihir apa? Aku tak bisa melakukan sihir! Itu hanya berada dalam buku
buku,” jawabku dengan pelan. Ryan terdengar ingin ketawa. Andai saja tubuh ini
bisa kugerakkan, aku akan menamparnya seketika.
“Lily, memang saat itu sihir hanya ditulis dalam buku buku fiksi. Tapi,
kita sekarang hidup di dalam dunia yang diciptakan oleh sihir,” jawab Ryan
sambil menahan tawa. Aku melirik Ryan dengan tatapan tak percaya. Jadi, memang
benar selama tujuh hari ini aku hidup di dunia sihir? Aku merasa diriku ingin
tersenyum.
“Oke, terserah kau. Tapi bagaimana caranya aku bisa melakukan sihir bila
tubuhku tak bisa digerakkan? Aku harap kau bisa melakukan sesuatu. Well
mengingat kita bisa sihir sekarang,” pintaku kepada Ryan. Tanpa berkata apa
apa, Ryan memegang tanganku dan menggumamkan sesuatu. Dari tangannya keluar
sinar berwarna kehijauan. Telapak tanganku terasa hangat. Hampir saja aku
melompat ketika rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhku. Otot ototku serasa
merileks. Rasa mengantuk mulai merayapi diriku. Aku bagaikan anak kecil yang
hendak tidur akibat lagu ninabobo dari ibunya.
Tapi, rasa mengantuk itu menghilang ketika Ryan melepas tangannya. Aku
mengerjap matak berkali kali untuk menyesuaikan diri. Setelah tersadar, aku
teringat sesuatu.
“Oh ya, apa yang terjadi pada monster itu?” ujar ku untuk mengutarakan apa
yang kusadari saat ini. Kita sudah berdiri disini cukup lama.
“Hah?” jerit Ryan menunjukkan kalau dia juga tersadar. Tepat setelah
mengatakan seperti itu, monster itu kini menginjakkan kakinya. Andaikan kami
juga tak menyadarinya, mungkin kami sudah rata dengan tanah. Untunglah, Ryan
berhasil melompat menghindari dan kini berlari ke arah pintu rumah. Dia
menendang pintunya dan segera berlari keluar.
“Nah, Lily! Sekarang dengarkan aku! Kau dianugerahi sihir kecepatan dan
ketangkasan. Jadi, aku ingin kau membantuku dalam menghindari dan
mendekatinya,” kata Ryan yang kini berlari ke belakang rumah rumah.
“Tapi bagaimana caranya? Kau mengatakan begitu seperti sihir menjadi hal
yang biasa! Aku tak bisa sihir atau apalah itu!” jawabku dengan setengah
berteriak.
“Baiklah, akan kuberitahu caranya. Arahkan pandanganmu ke tempat yang
ingin kau tuju. Kemudian, katakan dalam hati kecepatan yang kau inginkan.
Misalnya, secepat kuda atau apalah,” Ryan menjelaskan dengan cepat karena
monster itu mulai mendekati kami.
“Hah? Kau pikir mudah melakukan hal yang seperti itu?”
“Ya ampun Lily! Kalau aku jadi kau yang sangat mudah melamun dan berimajinasi.
Aku akan sangat bersyukur karena memiliki sihir sepertimu. Jadi, gunakan
imajinasimu,” Ryan menjawab seperti itu dengan jengkel. Aku sendiri juga ikut
jengkel. Kalau saja kami tidak dikejar kejar monster, aku akan mencekiknya
hingga sesak nafas.
“Baiklah,” hanya itu yang keluar dari mulutku,
“Argh!” Aku dan Ryan menjerit bebarengan. Monster itu kini disebelah kiri
kami. Mata kami berdua beradu dengan mata monster itu. Matanya berwarna hitam
dan sebesar bola sepak. Mata itu seakan ingin menelan kami berdua.
“Oke, Lily. Arahkan pandanganmu ke atap sebelah kanan kita dan pikirkan
kecepatan yang kau inginkan,” kata Ryan dengan lirih dan tidak melepaskan
pandangannya dari mata monster itu. Perlahan aku menoleh ke arah atap yang
dimaksud Ryan. Badanku bergetar semua, aku tak peduli Ryan akan protes atau
tidak.
Aku ingin kecepatan secepat kuda
yang berlari! Jeritku dalam hati.
Tanpa sadar, aku sudah berlari ke arah atap itu. Aku memegang tangan Ryan dan
menyeretnya ke arah atap. Aku merasa diriku terbang. Itu pasti karena kecepatan
lariku sekarang. Hingga aku bisa terbang walau hanya sesaat.
Hentikan! Kataku dalam hati setelah aku dan Ryan berhasil menginjakan
kaki kami di salah satu atap rumah. Jantungku berdetak kencang. Ingin rasanya
jantung ini lompat dan keluar dari tubuhku. Ryan sendiri juga tampak kaget.
Nafasnya terengah engah.
“Kau melakukannya dengan baik. Sekarang, aku mohon bantu aku dengan sihir
dan pedangmu,” Ryan menunjuk ke arah pedangku yang masih di sarungnya. Aku
hanya mengangguk dan mengeluarkan pedangku.
Tidak seperti tadi, pedangku kali ini mengeluarkan api. Api itu berada di
sepanjang bilah pedang itu. Anehnya, aku merasa tidak panas sedikit pun. Aku
memandang Ryan, berharap dia mau memberi jawaban. Tapi dia menggeleng dan
mengulurkan tangannya.
“Nanti akan kujelaskan. Sekarang kita perlu membereskan monster itu dulu,”
jawab Ryan. Aku memegang tangannya dan mengangguk. Dia menarik tanganku dan
tanpa aba aba dia melompat. Aku menjerit sekeras kerasnya.
“Bodoh! Bilang dulu kalau kamu mau melompat! Jangan seenaknya saja,” Tapi,
Ryan mengabaikan jeritanku dan mengatakan, “Cepat gunakan sihirmu! Sebelum
kepala kita hancur akibat menyentuh tanah. Arahkan padanganmu ke lengan
kirinya,” Dengan segera, aku mengalihkan pandanganku ke arah lengan kiri
monster itu. Kita semakin dekat dengan tanah. Nyawaku dan Ryan berada di
tanganku.
Arahkan aku ke lengan kirinya!
Cepat! Jeritku dalam hati,
Seketika, aku berlari di udara ke arah lengan kirinya. Aku takkan
membiarkan diriku jatuh. Ryan memegang erat tanganku. Aku menoleh ke arahnya
dan melihatnya tersenyum senang. Aku juga ikut tersenyum. Namun, ekpresi
wajahnya berubah. Dia tampak melotot. Tiba tiba, pedang yang besar hampir
menyambar kami berdua. Untunglah, Ryan berhasil menangkis pedang itu dengan
cepat.
Dengan segera, aku kembali berlari ke tujuan awalku tadi. Kali ini, aku
berusaha lebih cepat. Monster itu berusaha menjauhkan lengan kirinya dari kami.
Namun, aku jauh lebih cepat daripada monster itu. Hanya tinggal beberapa meter
saja jarakku dengan lengannya.
Tapi, disaat kakiku dan kaki Ryan berhasil menyentuh lengannya. Sebuah
pedang menghantam punggung kami berdua. Kami terlontar cukup jauh. Tangan Ryan
terlepas dari genggaman tanganku.
“Ryan!” Aku berusaha menggapai Ryan. Tapi, Ryan sudah tak sadarkan diri.
Punggungnya berdarah. Dia sudah hampir terbelah dua. Dia terlihat seperti
boneka.
Arahkan aku ke sana! Cepat! cepat!
Dengan segera aku terbang ke arahnya. Aku memeluknya pelan. Seakan takut
kalau dia nanti benar benar terbelah menjadi dua. Anehnya, aku tak mengalami
luka sedikit pun. Apakah Ryan melindungiku?
“Ryan, jawab aku,” dengan bodohnya aku bertanya pada orang yang sudah
hampir terbelah menjadi dua. Tapi, aku tak ingin dia mati. Apalagi kalau dia
mati akibat melindungiku. “Ryan, aku mohon jangan mati!”
Turunkan aku dan melambat lah!
Dengan sihir, kami berhasil turun dengan selamat. Dengan hati hati aku
menurunkanya dan meletakkannya di tanah. Dia tidak bergerak sedikit pun. Tapi,
samar samar aku dapat merasakan detak jantungnya. Benarkah Ryan akan mati?
“Ryan, aku mohon jangan mati!” jeritku sekeras kerasnya. Aku tak peduli
dengan monster yang berada di belakangku. Aku terus menggoyang goyangkan
tubuhnya. Mataku sama sekali tidak berkedip, seakan jika aku berkedip sekali
saja Ryan akan menghilang. Sekali lagi aku berteriak, “Ryan!!”
Seusai aku berteriak, sesuatu memukulku dari belakang. Aku terlontar jauh
ke depan sejauh beberapa meter. Aku yakin, beberapa tulangku ada yang patah.
Dengan sisa sisa tenaga, aku menoleh ke arah Ryan yang masih tak sadarkan diri.
Tanganku yang bergetar hebat masih berusaha meraihnya. Monster itu berjalan
mendekatinya.
Aku merangkak pelan-pelan mendekati Ryan. Monster itu sudah hendak
melayangkan tinjuan ke arah Ryan. Ingin aku menjerit, tapi suaraku tak mau
keluar. Tanganku terus bergetar dan meraihnya. Berharap dapat meraih Ryan.
Namun, kelopak mataku perlahan menutup. Tenagaku nyaris hilang.
Hal terakhir yang kupikirkan adalah Ryan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah mau membacanya, walaupun capek :D
Pembaca yang baik ada baiknya memberi penulis yang bodoh ini kritik dan saran :)
Mohon kritik dan sarannya