2013/04/10

Bab 1 : Lily dan Ryan

Suara kicauan burung sayup sayup mulai terdengar. Udara sejuk mulai menelusuri seluruh tubuhku. Ditambah dengan empuknya kasur yang kutiduri dan lembutnya selimut yang menutupi tubuhku, membuatku ingin melanjutkan tidurku kembali.
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
Dengan cepat kubuka mataku dan segera bangun. Berkas sinar matahari yang melewati jendela sempat menyilaukan mataku. Setelah berhasil menyesuaikan diri, aku melihat sekeliling.
Kamar tempatku tidur saat ini memiliki dekorasi seperti kamar kerajaan abad lima belas hingga tujuh belas. Lantainya terbuat dari keramik berwarna cokelat. Di setiap jendela, terdapat banyak ukiran yang tidak akan membuatku bosan. Tanaman hijau berada di setiap sudut ruangan. Tepat diseberang kasur, terdapat pintu yang menuju ke balkon kamar. Pintu itu terbuat dari kaca, sehingga membuatnya berfungsi menjadi jendela juga.
“Ah, kau sudah bangun rupanya,” seseorang tiba tiba masuk dan menyapaku. Aku menoleh ke arahnya. Begitu melihat wajahnya, mataku langsung terbuka lebar.
“Fanie?!” seruku tak percaya. Fanie hanya tersenyum dan duduk di kursi yang berada di samping kasurku. Mataku tak pernah lepas darinya.
“Kau kaget ya dengan penampilanku saat ini?” tanya Fanie sambil tersenyum.
Fanie yang kulihat saat ini jauh lebih cantik daripada dulu. Rambutnya menjadi berwarna pirang kecoklatan dan disertai mata berwarna biru laut. Dia juga terlihat lebih tinggi dan lengannya terlihat sedikit berotot. Tapi, yang membuatku tercengan adalah telinganya. Telinga Fani menjadi runcing di ujungnya.
“Apakah kau berubah menjadi seorang elf?” setelah beberapa saat aku berhasil menyimpulkan dia berubah menjadi apa. Elf memang terkenal sangat sempurna. Mereka juga terlihat sangat anggun bila bertarung. Tapi mereka terkadang juga terlihat ganas. Saat berbicara mereka terlihat memiliki intelejensi tinggi dan berbicara dengan nada tenang. Elf memang sangat pas dengan karakter Fanie. Dulu, aku memang terkadang berandai Fanie berubah menjadi elf. Sekarang, aku dapat melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
“Tebakanmu benar sekali,” jawab Fanie sambil tersenyum lagi. “Aku tahu kau pasti bingung kenapa kau ada di sini.”
“Ya, benar sekali. Bagaimana aku bisa di sini?” sahutku, mendadak aku teringat Ryan “Oh ya, di mana Ryan?”
Fanie menatapku dengan bingung. Aku juga balik menatapnya. Ada apa? Kenapa Fanie terlihat kebingungan? Pada akhirnya, Fanie menjawab, “Disaat kami menolongmu, kami hanya menemukanmu dan jasad monster itu.”
“Apa?! Mungkin saja kalian melewatkan sesuatu. Aku yakin Ryan berada di sana,”
“Tidak, aku bersungguh sungguh,”
“Baiklah, ceritakan padaku apa yang terjadi,”
“Saat ini kamu berada di kota elf. Di kota ini, kami para elf, membentuk sebuah pasukan untuk menolong siapa saja yang tidak tahu apa yang terjadi pada dunia ini. Selama tujuh hari, kami terus menolong dan memberitahu semua orang yang berada di sekitar kota kami,”
Aku menatapnya tak percaya. Selama tujuh hari, Fanie dan semua orang yang menjadi elf terus menolong orang orang yang sedang kesulitan. Aku sempat merasa malu, karena selama tujuh hari itu, aku hanya berjalan jalan di sekitar desa dan menatap matahari terbenam sore harinya.
Fanie kembali melanjutkan ceritanya, “Pada hari ketujuh. Kami memutuskan pergi ke desamu. Diluar dugaan, ternyata desa yang kalian tinggali di serang oleh minotaur. Memang daerah itu cukup banyak ditinggali minotaur liar. Tapi, kami tahu kalau kami terlambat,” Fanie mengepalkan tangannya. Seakan terdapat penyesalan akibat keterlambatan mereka. Aku sampai tidak tahu harus berbuat apa.
“Fanie? Kau tak apa apa?”
Nampak tersadar dari lamunannya, dia buru buru menjawab, “Ah, setelah itu kami sampai di desamu. Ternyata, monster itu sudah dikalahkan dengan ribuan panah di tubuhnya. Lalu, kami menemukanmu di samping salah satu rumah. Dengan segera, kami mengangkatmu dan membawa kesini, karena melihat luka luka yang kau derita cukup parah,”
“Tunggu dulu, kau berkata monster itu mati dengan ribuan panah di tubuhnya?”
“Ya benar sekali,”
“Itu tidak mungkin…”
“Apanya yang tidak mungkin?” tanya Fanie dengan penasaran.
“Karena, baik aku maupun Ryan berada dalam keadaan sekarat,”
“Mungkin saja, Ryan masih bisa bertarung dan memanahnya ribuan kali,”
“Tidak mungkin. Ryan menggunakan senjata pedang dengan kristal kristal es mengelilingi bilah pedangnya. Jadi, tidak mungkin Ryan mengalahkan monster itu,”
Fanie menyandarkan tubuhnya di kursi. Tampak sedang berpikir. Tapi, tidak dapat disembunyikannya, terdapat raut muka yang penuh penyesalan. Aku yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh Fanie. Entah apa itu.
“Nah, hari sudah siang. Gantilah bajumu, dan pergilah ke ruang makan. Aku masih ada beberapa urusan dengan pimpinan,” kata Fanie pada akhirnya sambil tersenyum. Dia berdiri dan berjalan meninggalkan kamar. Meninggalkanku sendirian. Yang sebenarnya, sangat ingin tidur kembali di kasur yang empuk ini.
***
Koridor istana elf memang tiada duanya. Batu batu yang tersusun rapi di sebelah kanan, dan pilar pilar serta pagar yang juga terbuat dari batu di sebelah kiri. Koridor itu juga menawarkan pemandangan yang mengagumkan. Kawasan ladang hijau dan bukit serta pohon pohon cemara. Tidak lupa, terdapat sungai kecil yang memisahkan kawasan istana dan ladang hijau. Hal itu, membuat Fanie merasa nyaman.
Fanie memutuskan untuk duduk di pagar menghadap ke pemandangan spektakuler tadi. Sehingga, bila ada yang mendorongnya. Dia tinggal terjatuh dan tentu saja, mati. Tapi, Fanie tidak begitu memikirkan hal itu. Lagipula, dia memiliki perisai sihir sehingga membuatnya tahu bila ada orang yang mendekat.
Tapi, perisai sihir itu tidak berguna di satu orang.
Orang itu adalah Delrico Aldrich. Seorang keturunan Prancis Amerika. Kini, dia menjabat sebagai pangeran para elf di kota itu. Ibunya, Alair Aldrich adalah ratunya. Maklum, dia dan ibunyalah yang pertama kali mengusulkan untuk menolong orang lain. Sehingga, semua elf memutuskan untuk mengangkat mereka menjadi ratu.
Tiba-tiba saja, Delrico mendorong Fanie hingga membuatnya nyaris terjatuh. Untunglah, Fanie cukup siap hingga tidak terjatuh. Andaikan itu orang lain, maka Delrico sudah membunuh satu orang. Dengan segera, Fanie membalikkan badannya dan memasang wajah marah.
“Oh, kau tak perlu memasang raut muka seperti itu,” kata Delrico sambil tertawa. Sihir, membuat Fanie bisa mengerti apa yang dikatakan Delrico. Walaupun Delrico berbicara menggunakan bahasa Perancis.
“Ya, aku harus memasang wajah seperti ini karena kau nyaris membunuhku!” jawab Fanie sambil menyipitkan matanya. Tentu saja, Delrico juga tahu apa yang dikatakan Fanie dengan sihir. Walaupun, Fanie berbicara menggunakan bahasa dari tempat asalnya, Indonesia.
“Baiklah. Maafkan aku. Maafkan aku, Tuan Putri,” jawab Delrico sambil membungkuk dan mencium tangan Fanie. Tentu saja, wajah Fanie langsung merona merah. Cepat-cepat Fanie menarik tangannya sambil mengalihkan wajahnya.
“Hentikan tindakan itu, kau hampir membuatku nyaris muntah,” jawab Fanie dengan nada bicara sesinis mungkin. Tapi, Delrico tahu kalau wajah Fanie merona merah. Delrico tersenyum jahil.
“Apakah kau biasanya muntah sambil muka merona merah?” tanya Delrico penuh kemenangan. Mendengar itu, pipi Fanie makin merona merah.
“Terserah kau!” jerit Fanie sambil menahan malu.
“Hahaha! Wajahmu benar benar lucu,” kata Delrico sambil tertawa keras.
Delrico memang memiliki wajah yang tampan. Dia juga memiliki karisma sehingga banyak disukai wanita, sesungguhnya, Fanie juga sedikit menyukainya. Hanya saja, Delrico memiliki sifat jahil. Walaupun Fanie baru mengenal Delrico, tapi hanya Delrico yang berhasil membuat dia emosi seperti tadi. Selama ini, Fanie selalu berhasil menekan emosinya. Tapi bila harus berhadapan dengan Delrico, Fanie tidak pernah berhasil menekan emosinya.
Hari ini, Delrico membawa sebuah tombak di tangan kanannya dan busur panah beserta panahnya di punggungnya. Elf, memang diberi sebuah kelebihan. Yaitu dapa menguasai dua senjata sekaligus. Elf memang dikarunai bisa memanah, tapi mereka juga dikarunai menguasai keahlian lain. Sedangkan manusia perlu mempelajari dulu agar bisa menguasai dulu. Seperti Delrico yang ahli memanah dan ahli juga dalam menggunakan tombak. Biasanya, dia menggunakan tombaknya untuk berburu. Berbeda dengan Fanie, yang bisa memanah serta menggunakan dua pedang secara bersamaan. Sayangnya, itu hanya terbatas pada pedang yang berukuran dua puluh sampai tiga puluh sentimeter.
“Hey bagaimana dengan gadis itu? Kau sudah mengatakan apa yang dikatakan oleh ibuku?” raut muka Delrico tiba tiba menjadi serius.
“Ya, aku berkata seusai dengan apa kata ibumu. Tapi…” Fanie terdiam. Delrico juga diam saja, pada akhirnya Fanie melanjutkan lagi, “Kau tahu, sangat susah berbohong seperti itu.”
“Aku tahu…”
“Mengatakan kalau jasad temannya tidak ditemukan, ribuan panah misterius, dan dia… mempercayainya begitu saja,”
“Fanie, maafkan ibuku membuatmu berbohong seperti itu,”
“Untuk apa?!” suara Fanie terdengar seperti akan menangis, “Bila aku mengatakan yang sebenarnya. Maka, Lily akan marah. Dia bisa saja pergi ke sarang musuh demi mencari Ryan. Tanpa dia sadari, dia telah jatuh cinta pada laki-laki itu.”
“Yah, cinta memang hal yang aneh…”
“Tapi, benarkah nasib kita berada di tangan mereka?”
Mendengar itu, Delrico memutuskan untuk diam.
***
Suara gagak kembali membangunkanku. Membuat tidurku menjadi makin tidak nyaman saja. Karena sudah tidak tahan dengan suasana yang tidak mengenakan ini, aku memutuskan untuk bangun dari tidurku.
Disamping tidurku, terdapat seorang lelaki berumur tiga puluhan berdiri di samping tempat tidurku. Rambutnya sebahu dan berwarna silver. Bajunya semua berwarna hitam. Di tangan kirinya, dia membawa bunga mawar berwarna merah. Membuat dia tampak makin kejam.
“Kau sudah bangun, pangeran?” tanyanya sambil tersenyum.
Senyuman licik.
Update
Setelah selesai membersihkan diriku. Aku memutuskan untuk mengganti bajuku yang ternyata sudah sobek dimana-mana. Aku membuka lemari yang terdapat di kamar itu. Disana, terdapat banyak baju yang terlipat dengan rapi. Kebanyakan gaun.
Beberapa menit aku memilih gaun yang pas untukku. Karena aku sebenarnya paling tidak suka memakai gaun. Akhirnya, aku memilih gaun selutut tanpa lengan berwarna biru tua. Serta handsleeves warna hitam. Tak lupa, sepatu boot warna hitam juga.
Aku mengebaskan gaunku yang sebelumnya kupakai. Debu beterbangan dari gaunku. Aku sendiri sempat terbatuk batuk.
Klang!
Sesuatu terlempar dari gaunku dan membentur lantai. Kutaruh gaunku di kasur. Kemudian, mengambil benda yang jatuh itu.
Benda itu adalah kalung. Kalung dengan tali kulit berwarna hitam serta batu hijau tosca menghiasinya. Batu itu hangat, seakan ada sesuatu yang hidup dari kalung itu. Kalung itu sangat indah sekali.
Aku memutuskan untuk memakainya karena memang terlihat indah dan sangat pas dengan pakaian yang aku kenakan saat ini. Di sebelah lemari terdapat cermin yang tingginya lebih tinggi dari tubuhku. Aku berputar putar sebentar di depan cermin. Pertama kalinya, aku menyukai memakai gaun.

Suasana di ruang makan sangat tenang. Padahal, disana ada sekitar lima puluh orang, lebih tepatnya lima puluh elf. Mereka berjalan tanpa suara, hanya berbincang bincang sebentar dan pelan sekali suara mereka. Seakan semua yang mereka bicarakan itu adalah rahasia dan orang lain tak boleh mengetahuinya.
“Selamat pagi Lily!” Fanie menyapaku dengan ramah. Disampingnya, terdapat seorang lelaki yang berwajah cukup tampan. Lelaki itu tersenyum padaku.
“Perkenalkan, namaku adalah Delrico Aldrich,” lelaki itu menjulurkan tangannya.
“Namaku Lily Therane, senang bertemu denganmu,” aku menjabat tangannya dan melepasnya setelah berjabat.
“Lily, mari ikut kami,” kata Fanie sambil membalikkan badannya. Delrico juga ikut membalikkan badannya. Kami bertiga berjalan ke sebuah pintu di seberang meja makan. Pintu sekitar 2.5 meter tingginya dan 2 meter tingginya.
Lily membuka pintu itu dengan lembut. Seberkas cahaya keluar dari sela sela pintu. Cahaya itu sangat terang, sehingga membuatku harus menyipitkan mataku. Semakin lebar pintu itu terbuka, cahaya itu semakin terang. Hingga pada akhirnya, semuanya menjadi putih.

Perlahan, cahaya putih itu menghilang. Aku butuh mengerjapkan mataku beberapa kali. Sehingga mataku bisa menyesuaikan diri. Kini, kami berada di sebuah taman dengan tanaman serta bunga yang belum pernah kulihat sebelumnya

2 komentar:

  1. Anonim4/29/2013

    Keren kk lnjut dong..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sori baru bisa balas sekarang
      Btw, thx u udah ngasih sedikit waktunya buat komentar di sini

      Hapus

Terima kasih sudah mau membacanya, walaupun capek :D
Pembaca yang baik ada baiknya memberi penulis yang bodoh ini kritik dan saran :)
Mohon kritik dan sarannya